LITERATUR RIVIEW
LITERATUR RIVIEW JURNAL BERKAITAN DENGAN KAJIAN FILM HOROR OKULTULISME
Semiotic Analysis Of Valak And Lorainne In “THE CONJURING 2” Film
Penulis Jurnal: Tri Widyastuti Setyaningsih
Tahun Terbit: 2023
Halaman Jurnal: 61-77
Teori:
Dalam Jurnal "Rekreasi Ketakutan: Sebuah Kajian Menonton Film Horor Di Masa Pasca Pandemi" Tingginya popularitas dan antusiasme penonton terhadap film horor, memunculkan pertanyaan mengapa penonton film tertarik pada genre film ini, mengingat sifatnya yang khas, dan mengapa orang masih saja tertarik menontonnya pada masa pascapandemi-suatu kondisi yang sebenarnya sama kualitasnya dan efek yang dihasilkan penonton film horor di masa pandemi.
Menurut Theodor W. Adorno dalam Robert W. Witkin, industri budaya merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya di bawah naungan hubungan produksi model kapitalis.Produksi film berbeda dengan industri lainnya.Konsep dalam industri budaya yang digunakan untuk menjelaskan kemampuan film dalam memengaruhi emosi penonton yaitu simulakra dan hiperealitas dimana Kualitas film horor sebagai produk estetis yang hadir dalam konteks sosio-kultural masyarakat yang khas membuatnya makin disukai.Terlebih dalam konteks situasi dan kondisi pandemi yang horor.
Di Indonesia, film horor merupakan salah satu genre yang banyak digemari oleh masyarakat. Film horor pertama di Indonesia dibuat pada tahun 1934 oleh The Teng Cun dengan judul Doea Siloeman Oeler Poeti en Item (Biran 148).
Keberhasilan sebuah film ditentukan oleh kemampuannya dalam menciptakan simulasi yang mampu menghadirkan simulakra-simulakra yang akhirnya mampu menciptakan hiperealitas bagi penonton. Untuk itu, para produsen film perlu mempersiapkan proses produksi yang kontekstual sesuai waktu, situasi dan kondisi psikis-sosio-kultural calon penontonnya.
Sebuah penelitian yang dilakukan menjelaskan selama bertahun-tahun, para ahli telah berspekulasi tentang berbagai penjelasan untuk fenomena rekreasi ketakutan. Misalnya, ada pemikiran bahwa konsumsi horor mungkin merupakan konfrontasi ambivalen dengan keinginan yang ditekan, suatu bentuk stimulasi diri melalui gairah yang diinduksi secara artifisial, atau suatu bentuk masokisme jinak (Scrivner, Kjeldgaard-Christiansen, Johnson & Clasen).
Faktor utama yang terkuat dan paling memengaruhi keberhasilan dalam industri film menurut Warren Buckland adalah bagaimana sebuah film mampu “mengaduk-aduk” emosi penonton. Konsep dalam industri budaya yang digunakan untuk menjelaskan kemampuan film dalam memengaruhi emosi penonton yaitu simulakra dan hiperealitas. Simulakra kurang lebih diartikan sebagai konstruksi pikiran imajiner terhadap sebuah realitas, tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial. Jadi manipulasi kenyataan yang menenggelamkan representasi ke dalam simulasi yang mereduksi keseimbangan antara citra dan realitas, itulah yang disebut simulakra. Simulakra kemudian menciptakan hiperealitas sebagai suatu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian sehingga kepalsuan seolah-olah hadir menjadi satu kenyataan (Ardiyanti 81; Baudrillard).
Metode:
Dalam penelitian ini menggunakan konsep pendekatan dalam industri budaya dengan logika industrialisasi dan komersialisasi budaya dimana hal itulah yang melahirkan sebuah film. Tujuan utama dari film horor adalah untuk menakut-nakuti dan mengejutkan penonton dengan menggunakan berbagai motif audio visual dan perangkat teknis lainnya. Penonton diposisikan sebagai konsumen industri budaya yang melakukan komodifikasi dan repetisi dalam produksi.
Hasil Penelitian:
Para peneliti horor berspekulasi bahwa gagasan tentang rekreasi ketakutan dapat dianggap sebagai bentuk permainan. Gagasan penting di sini adalah bahwa rekreasi ketakutan, seperti hiburan horor, memberikan konteks di mana individu dapat memiliki pengalaman yang murah dan bebas risiko dengan rasa takut dan emosi negatif terkait. Pemirsa film horor, misalnya, menanggapi film dengan ketakutan, kecemasan, ketakutan, dan jijik tanpa berada dalam bahaya yang sebenarnya.
Literatur Review Jurnal 3
Penulis Jurnal: Hardini Andriyanti
Tahun Terbit: 2017
Halaman Jurnal: 163-179
Teori:
Menurut Theodor W. Adorno dalam Robert W. Witkin, Industri budaya merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya di bawah naungan hubungan produksi model kapitalis. Melalui alat berupa modal dan teknologi, budaya dikelola sebagai sebuah industri. Manusia diobjekkan sebagai bentuk modal yaitu berupa pekerja dan konsumen. Industri budaya mengimitasi seni murni yang tunduk terhadap totalitas industri budaya.
Selain itu untuk mampu menguraikan kebijakan perfilman yang tepat maka kita dapat meminjam pemikiran industri budaya David Hesmondhalgh yang merupakan satu ide penting dalam perumusan kebijakan budaya. Hesmondhalgh dalam pemikirannya menguraikan organisasi industri budaya yang terdiri dari produksi, distribusi, promosi dan konsumsi. Organisasi industri budaya tersebut kemudian oleh Hesmondhalgh disebut sebagai industri kreatif terdiri dari primary creative personel, technical worker, creative managers, marketing personal, owner dan executives, unskilled and semi skilled labour. Dari sekian banyak elemen yang terlibat dalam industri budaya, creative personel merupakan satu aset yang harus terjaga dengan baik dan perlunya permahaman dari berbagai elemen yang berkuasa lainnya
Untuk mengetahui kebijakan perfilman yang mampu mendorong perkembangan perfilman dapat diketahui dengan mempelajari perkembangan perfilman di masa lalu yang dipengaruhi oleh kebijakan perfilman dengan melakukan studi literatur dan studi penelusuran sejarah dengan mengunakan internet. Dengan melakukan telaah terhadap sejarah perkembangan bioskop, perfilman dan kebijakan perfilman dengan mengunakan konsep industri budaya tersebut maka kita dapat mengetahui bagaimana kebijakan perfilman yang diharapkan mampu mendorong perkembangan industri perfilman Indonesia.
Metode:
Dalam penelitian ini terkait metode penelitian kualitatif, peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi untuk memahami pengalaman subjektif individu terhadap suatu fenomena . Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk mendalami makna yang terkandung dalam pengalaman individu dan memahami perspektif mereka secara mendalam. Selain itu, dalam penelitian kuantitatif, peneliti menggunakan desain eksperimental untuk menguji hubungan sebab-akibat antara variabel-variabel tertentu. Desain eksperimental memungkinkan peneliti untuk mengontrol variabel-variabel yang mempengaruhi hasil penelitian, sehingga dapat diperoleh kesimpulan yang lebih kuat. Metode penelitian yang dipilih akan sangat memengaruhi validitas dan reliabilitas hasil penelitian yang diperoleh
Hasil Penelitian:
Penulis Jurnal: Salsabila Khairunnisa, Agus Trihartono, Fuat Albayuni
Tahun Terbit: 2022
Halaman Jurnal: 1-27
Teori:
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka, baik dari literatur cetak maupun elektronik
Hasil Penelitian:
Hasil dari penelitian tersebut adalah pentingnya peran industri film dalam mempengaruhi citra nasional suatu negara, seperti yang terjadi di Korea Selatan, Keterlibatan aktor negara dan non negara menjadi poin penting dalam membangun citra nasional melalui industri film.
Dan juga dengan melalui kerja sama antara Badan Perfilman Indonesia (BPI) dan Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), industri film Indonesia mulai dibenahi dari berbagai sektor, seperti kebijakan, perlindungan pekerja, dan tata cara perizinan. Indonesia dapat belajar dari Korea Selatan dalam memanfaatkan industri film sebagai alat promosi untuk membangun citra nasional yang kuat. Meskipun masih ada kendala seperti kebijakan yang memberatkan industri film, Indonesia dapat mengikuti jejak Korea Selatan dalam meraih kesuksesan di industri film.
Penulis Jurnal: Joseph Sebastian Santos , Twin Agus Pramonojati
Tahun Terbit: 2020
Halaman Jurnal: 7656-7666
Teori:
Suasana setting film horor lebih cenderung pada ruangan atau tempat yang gelap yang didukung juga dengan adanya ilustrasi musik yang mencekam dengan kalangan remaja dan dewasa sebagai sasaran penonton dalam film horor ini (Pratista, 2008:16-17)
Okultisme tersendiri yang berasal berasal dari kata "occultus" (Latin), artinya tersembunyi, rahasia, gaib, misterius, gelap, atau kegelapan. Dengan demikian, okultisme dapat diartikan sebagai paham yang menganut dan mempraktikkan kuasa dan kekuatan dari dunia kegelapan atau dunia roh-roh jahat. Jika film horor bertema hantu lebih menekankan sisi teror dan menegangkan, sedangkan tema okultisme lebih menekankan unsur cerita yang disebabkan penyembahan berhala. Untuk lebih spesifik, penyembahan berhala yang dikemas dalam film ini adalah berupa pesugihan. Ruslani menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Tabir Mistik (2003:147).
Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Sobur, 2013:128).
Metode:
Penelitian ini menggunakan paradigma strukturalisme dengan metode analisis berdasarkan kajian semiotika Roland Barthes. Metode analisis data dilakukan dengan menggunakan potongan adegan yang berisi simbol-simbol dalam film, yang kemudian dianalisis dengan teori semiotika Roland Barthes.
Hasil Penelitian:
Penulis Jurnal: Jenne Jessica Revanda Pieter
Tahun Terbit: 2023
Halaman Jurnal: 95-104
Teori:
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan literatur dari berbagai bidang, seperti Teologi, Budaya Populer, Media dan Komunikasi, serta Teologi Publik, untuk menjelaskan film horor sebagai bagian dari budaya populer dan sebagai bahan refleksi teologi . Metode ini memungkinkan penulis untuk mendalami konsep-konsep yang relevan dengan topik penelitian tanpa melakukan penelitian lapangan secara langsung.
Hasil Penelitian:
Dalam penelitian ini, film horor Indonesia dipandang sebagai bentuk memori kolektif masyarakat yang berperan dalam membangun teologi naratif. Film-film horor seperti "Sewu Dino" dan "KKN di Desa Penari" sukses meraih popularitas yang tinggi di kalangan penonton. Fenomena film horor di Indonesia menunjukkan peningkatan jumlah produksi dan minat penonton yang antusias.
Film horor tidak hanya memengaruhi masyarakat secara positif maupun negatif, tetapi juga memiliki hubungan kompleks dengan konsep Memori Kolektif dan Teologi Naratif. Film-film horor merupakan bagian dari budaya populer yang mengeksplorasi rasa takut, ketegangan, dan teror dengan beragam sub-genre yang menarik.
Dengan popularitasnya, film horor di Indonesia memiliki potensi besar sebagai sumber inspirasi dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. Kisah-kisah dalam film horor juga dapat menjadi subjek refleksi teologi yang mendalam, menunjukkan bahwa film horor bukan hanya sekadar hiburan tetapi juga memiliki nilai dalam membangun narasi teologi yang relevan dengan masyarakat saat ini.
Literatur Review Jurnal 7
Penulis Jurnal: Cici Eka Iswahyuningtyas, dan Mochammad Fadjar H
Tahun Terbit: 2021
Halaman Jurnal: 133-146
Teori:
Setiap film punya karakteristik dan kebutuhan berbeda sehingga memerlukan pendekatan distribusi dan eksibisi yang juga berbeda (Kehoe & Mateer, 2015).
Maka dari itu untuk mendapatkan respon positif, pelaku usaha film khususnya distributor dan produser perlu menetapkan segmentasi pasar, yaitu segmentasi geografi, demografi, psikografi dan perilaku. Selain itu strategi pemasaran terkait produk, harga, distribusi dan promosi juga perlu ditetapkan pada setiap film yang diproduksi (Wahyudi, 2018).
Mengingat film Indonesia masih kurang diminati dan bergantung pada pasar film nasional maka strategi day and date dalam distribusi film perlu dikembangkan. Pada strategi ini film dirilis simultan secara konvensional dan digital. Strategi ini efektif untuk mengenalkan film dan mendapatkan publikasi dan perbincangan luas dari media dan publik. Eksibisi film melalui bioskop penting untuk menciptakan pengetahuan khalayak mengenai film sebelum diputar secara digital (Smits et al., 2018).
Melalui road show penonton tidak hanya berkesempatan untuk menonton film dan mendapatkan suasana bioskop tetapi juga dapat berinteraksi secara langsung dengan para pembuat film dan artis pendukungnya (Gaunson, 2017), menyoroti pentingnya interaksi langsung antara penonton dengan pembuat film melalui metode seperti road show untuk menciptakan pengalaman personal.
Metode:
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan kajian pustaka melalui analisis meta. Metode analisis meta digunakan untuk menciptakan integratif review terhadap temuan utama penelitian sebelumnya yang relevan dengan tujuan penelitian. Selain itu, penelitian ini juga mencari literatur melalui berbagai sumber seperti jurnal ilmiah, laporan, artikel website, dan peraturan pemerintah untuk mendukung analisis.
Hasil Penelitian:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi film perlu dilakukan secara simultan melalui jalur konvensional dan digital untuk memperluas pasar dan meningkatkan pendapatan dalam jangka panjang. Meskipun pasar film digital menjanjikan, pertunjukan film secara konvensional perlu dipertahankan karena pertumbuhan penonton bioskop terus meningkat. Langkah tersebut diperlukan karena jumlah bioskop dan penonton film nasional diprediksi akan terus meningkat .
Pembahasan dalam penelitian ini menekankan pentingnya peran produser film dalam menentukan model distribusi dan eksibisi film, serta interaksi langsung antara penonton dengan pembuat film melalui metode seperti road show untuk menciptakan pengalaman personal dan interaksi kepada khalayak. Selain itu, evaluasi terkait karakteristik film, khalayak sasaran, dan strategi distribusi perlu dilakukan untuk memastikan kesuksesan distribusi film. Dengan demikian, kombinasi strategi distribusi konvensional dan digital, serta keterlibatan aktif produser film dalam proses distribusi, dapat meningkatkan keterhubungan antara film dengan penonton serta potensi pendapatan film dalam pasar yang semakin berkembang
Serta terkait dengan dukungan pemerintah, dapat dilakukan dengan menetapkan regulasi dan memberikan insentif secara menyeluruh, tidak hanya pada tahap pengembangan, pra produksi, dan produksi tetapi juga tahap paska produksi.
Literatur Review Jurnal 8
Teori:
Metode:
Hasil Penelitian:
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pengaruh budaya Korea Selatan melalui Korean Wave (Hallyu) lebih dominan daripada budaya Jepang di Indonesia. Drama Korea dan musik K-Pop memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat Indonesia, sehingga produk-produk kebudayaan Korea Selatan semakin populer di Indonesia.
Di sisi lain, budaya Jepang sepat mengalami kenaikan popularitas di awal tahun 2000-an. Namun, program diplomasi budaya Jepang yang terlambat menyadari hal ini menyebabkan penurunan tren di Indonesia sejak 2013, karena kurangnya dukungan pemerintah dan eksklusivitas industri musik Jepang. Meskipun demikian, budaya Jepang masih memiliki pengaruh yang signifikan di Indonesia, terutama dalam hal belajar Bahasa Jepang dan pertukaran pelajar.
Literatur Review Jurnal 9
Teori:
Latar budaya lokal yang dihadirkan secara serampangan itu merupakan buah dari pemahaman bahwa film horor merupakan genre film yang sangat mudah untuk diproduksi, formula alur yang mudah ditebak dan sederhana, serta diproduksi dengan biaya murah (Barker, 2019).
Gagasan mengenai cultural speficity yang diusung oleh Hanan (2017) tidak terlepas dari perspektif mengenai budaya lokal (regional cultures) dan perbedaan budaya (cultural differences) dalam sejarah film Indonesia. Dalam penelitian itu Hanan menunjukkan bahwa pembicaraan mengenai kedua perspektif tersebut tidak dibicarakan sebagai konsep yang statis, melainkan sebagai konsep yang juga mengalami evolusi dan perubahan, terutama dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik masyarakat Indonesia (Hanan, 2017).
Respons atas kepercayaan pada mitos ini dapat disebut sebagai magi yang dapat berwujud rapal, mantra, atau sesaji. Dengan magi, manusia berusaha untuk menghindarkan diri dari malapetaka atau marabahaya, memperoleh panen besar, meramalkan masa depan, dan bahkan merugikan atau menyakiti orang lain yang dianggap sebagai rival atau musuh (Subagya, 1981).
Kendati peran dukun atau shaman berkaitan dengan praktik keagamaan asli yang dilakukan masyarakat pada masa lalu, kehadirannya dalam praktik sosial dalam masyarakat modern mencerminkan adanya fenomena mengenai jasa perdukunan yang tetap dipercaya masyarakat Jawa pada masa kini. Tidak dapat disangkal pula bahwa sebagai profesi, dukun menempati posisi baru yang terhormat dalam masyarakat baik kalangan bawah maupun kalangan atas (Artha, 2007).
Metode:
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang mengandalkan pengumpulan data dari berbagai instrumen penelitian seperti wawancara, observasi, dan studi pustaka, serta menggunakan interpretasi sebagai bagian dari analisis data.
Analisis data dalam penelitian ini akan dielaborasi berdasarkan pendekatan teori semiotika yang diperkenalkan oleh John Fiske. Fokus perhatian dari studi tentang tanda dalam semiotika adalah teks komunikasi seperti film, di mana peran pembaca memiliki kaitan dengan penciptaan makna teks. Tahap representasi dalam penelitian ini dituangkan dalam matriks pola struktur naratif yang meliputi elemen-elemen seperti penokohan, alur dominan, latar, dan bagian cerita.
Hasil Penelitian:
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, film horor Indonesia "Mangkujiwo" (2020) menampilkan signifikansi unsur budaya Jawa seperti kepercayaan pada mitos, sistem mistik kejawen, peran dukun dalam praktik mistik, dan simbol kekuasaan.
Unsur-unsur budaya lokal ini membentuk pola-pola naratif dalam film yang mencerminkan praktik sosial masyarakat Jawa dan konflik-konflik yang muncul, termasuk aksi balas dendam sebagai pencapaian kondisi yang adil.
Analisis data juga menyoroti bagaimana stereotipisasi budaya Jawa dalam film horor Indonesia kontemporer dapat mencerminkan kepercayaan terhadap religi dan kekuasaan yang masih dominan dalam masyarakat Jawa. Pembicaraan mengenai cultural specifity (kekhasan budaya) dalam film horor Indonesia kontemporer memang akan jatuh pada stereotipisasi mengenai budaya Jawa yang terkesan tertutup, eksklusif, sakral, angker, dan penuh misteri. Namun, stereotipisasi ini bukanlah tanpa alasan. Praktik sosial yang tecermin dalam komunitas masyarakat Jawa di beberapa tempat memang menunjukkan betapa kepercayaan terhadap religi dan kepercayaan terhadap kekuasaan masih mendominasi di tempat tertentu seperti di lingkungan keraton dan juga di sejumlah desa yang terpencil.
Literatur Review Jurnal 10
Teori:
Pendidikan film untuk Generasi Z merupakan topik yang menarik karena generasi ini memiliki karakteristik dan kebiasaan belajar yang berbeda dari generasi sebelumnya. Generasi Z, lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, dikenal sebagai digital natives yang tumbuh dengan teknologi canggih dan akses mudah ke informasi. Oleh karena itu, pendekatan pendidikan tradisional sering kali kurang efektif untuk mereka. Dalam konteks pendidikan film, ini berarti metode pengajaran harus inovatif dan memanfaatkan teknologi digital untuk menarik minat mereka.
1. Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning): Pendekatan ini menekankan pembelajaran melalui pengalaman langsung dan proyek nyata, yang sangat cocok untuk pendidikan film. Generasi Z cenderung lebih terlibat dan termotivasi ketika mereka dapat melihat hasil nyata dari pekerjaan mereka.
2. Konstruktivisme: Teori ini menekankan bahwa belajar adalah proses aktif di mana siswa membangun pengetahuan baru berdasarkan pengalaman mereka sendiri. Dalam pendidikan film, ini bisa berarti mendorong siswa untuk membuat film mereka sendiri, bukan hanya menonton dan menganalisis film yang sudah ada.
3. Pembelajaran Sosial: Teori ini, yang dikemukakan oleh Albert Bandura, menekankan pentingnya pembelajaran melalui observasi dan interaksi sosial. Dalam pendidikan film, ini bisa diterapkan dengan cara kolaborasi dalam proyek film dan diskusi kelompok tentang karya film.
Metode:
Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan mengumpulkan data dari siswa melalui platform keterlibatan audiens online, yaitu Mentimeter. Data yang dikumpulkan mencakup harapan siswa terhadap tantangan di industri film dan televisi serta motivasi mereka untuk belajar membuat film. Penulis mengumpulkan data ini selama sesi orientasi dari 2017 hingga 2021 di Program BA Film dan Produksi Televisi di University of Greenwich.
Hasil Penelitian:
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan film yang efektif untuk Generasi Z harus memanfaatkan teknologi digital dan pendekatan yang interaktif. Siswa lebih terlibat dan termotivasi ketika mereka bisa berpartisipasi secara aktif dalam pembuatan film dan menggunakan alat yang mereka kenal. Selain itu, kerja tim dan kolaborasi juga merupakan aspek penting yang harus diperhatikan dalam merancang kurikulum pendidikan film.
Implikasi praktis dari temuan ini adalah bahwa institusi pendidikan perlu mengadopsi metode pengajaran yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan dan preferensi generasi ini. Penggunaan teknologi digital harus diintegrasikan secara menyeluruh dalam proses pembelajaran, dan guru harus berperan lebih sebagai fasilitator yang mendukung eksplorasi kreatif siswa daripada sekadar penyampai informasi.
Penulis Jurnal: Sugiri Kustedja, Antariksa Sudikno, Purnama Salura
Tahun Terbit: 2012
Halaman Jurnal: 61-89
Teori:
Feng-shui merupakan sebuah konsep yang berasal dari Tiongkok kuno dan memiliki sejarah panjang dalam budaya dan tradisi Tionghoa. Menurut Kustedja et al. (2012), istilah Feng-shui awalnya dikenal dengan berbagai nama seperti zhan-zhai (peramalan tempat tinggal), xiang-di (bentuk bumi), xiang-zhai (bentuk hunian), dan lain-lain. Istilah ini mengalami evolusi seiring dengan perkembangan zaman dan penggunaannya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Tionghoa.
1. Teori Kosmologi dan Filosofi Feng-shui
Feng-shui didasarkan pada teori kosmologi dan filosofi yang mendalam, yang mencakup prinsip-prinsip yin-yang (daya alam dualistis) dan qi (energi kehidupan). Teori ini berupaya menciptakan keseimbangan dan harmoni antara manusia dan lingkungan sekitarnya. Guo-pu (276-324 CE) dalam Zang Shu (Kitab Penguburan) menjelaskan bahwa pemilihan lokasi pemakaman yang baik dapat mempengaruhi kesejahteraan dan kemakmuran keturunan yang masih hidup.
2. Pengaruh Feng-shui dalam Arsitektur dan Tata Ruang
Kustedja et al. (2012) menyatakan bahwa Feng-shui tidak hanya diterapkan pada pemakaman tetapi juga dalam penataan bangunan dan ruang kota. Penerapan Feng-shui dalam arsitektur bertujuan untuk memastikan bahwa bangunan ditempatkan dalam posisi yang menguntungkan, yang diyakini dapat membawa keberuntungan dan kesehatan bagi penghuninya.
3. Feng-shui dalam Konteks Modern
Penelitian ini juga menyoroti bagaimana Feng-shui tetap relevan dalam konteks modern. Dalam arsitektur kontemporer, prinsip-prinsip Feng-shui masih digunakan untuk mendesain ruang yang harmonis dan seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi dan gaya hidup telah berubah, nilai-nilai budaya dan filosofi tradisional tetap dipertahankan dan dihargai.
Metode:
Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode Analisis Sejarah: Melacak sejarah Feng-shui dari masa dinasti Jin (317-420 M) hingga penggunaannya dalam konteks modern, Pendekatan Etnografis: Meneliti penerapan Feng-shui dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tionghoa tradisional dan modern, Pendekatan Antropologis: Menggali aspek budaya dan sosial dari penerapan Feng-shui, Semiotika dan Hermeneutika: Menganalisis simbolisme dan interpretasi konsep Feng-shui dalam konteks budaya.
Hasil Penelitian:
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Feng-shui ditemukan memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat Tionghoa, baik dalam konteks tradisional maupun modern. Feng-shui digunakan untuk menentukan lokasi yang menguntungkan bagi bangunan tempat tinggal, makam, dan struktur lainnya. Penentuan lokasi ini didasarkan pada prinsip-prinsip yin-yang dan qi, yang diyakini dapat mempengaruhi kesejahteraan dan keberuntungan penghuninya.
selanjutnya menunjukkan bahwa salah satu aplikasi utama Feng-shui adalah dalam pemilihan lokasi makam. Praktik ini berakar pada kepercayaan bahwa lokasi pemakaman yang baik dapat memberikan manfaat positif bagi keturunan yang masih hidup. Feng-shui dalam konteks ini berfungsi untuk memastikan bahwa makam terletak di tempat yang dapat menjaga keseimbangan dan harmoni antara energi alam dan leluhur yang telah meninggal.
Dalam arsitektur, Feng-shui digunakan untuk mendesain bangunan dan ruang agar sesuai dengan prinsip-prinsip keseimbangan dan harmoni. Penempatan bangunan, tata letak ruang, dan orientasi struktur semuanya dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Feng-shui. Jurnal ini memberikan contoh bagaimana desain bangunan dan tata ruang kota di beberapa kota besar di Tiongkok, seperti Beijing dan Suzhou, dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Feng-shui.
Penelitian ini juga menemukan bahwa Feng-shui tetap relevan dalam konteks modern. Meskipun telah terjadi perubahan dalam gaya hidup dan teknologi, prinsip-prinsip dasar Feng-shui masih diterapkan dalam desain arsitektur kontemporer dan perencanaan kota. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya dan filosofi tradisional tetap dipertahankan dan dihargai dalam masyarakat Tionghoa modern.
Analisis semiotika dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa banyak simbol dan elemen dalam Feng-shui memiliki makna mendalam yang terkait dengan kepercayaan dan nilai-nilai budaya Tionghoa. Simbolisme ini mencerminkan hubungan yang kompleks antara manusia, alam, dan kosmos. Feng-shui tidak hanya dilihat sebagai praktik teknis tetapi juga sebagai cara untuk memahami dan menginterpretasikan dunia.
Literatur Review Jurnal 12
Tahun Terbit: 2023
Halaman Jurnal: 3257-3263
Teori:
Warisan budaya takbenda didefinisikan sebagai berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan, serta instrumen, objek, artefak, dan lingkungan budaya terkait yang diakui oleh masyarakat, kelompok, dan individu sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Warisan ini diwariskan dari generasi ke generasi, secara terus-menerus diciptakan ulang oleh komunitas dan kelompok sebagai respons terhadap lingkungan mereka, interaksi dengan alam, dan sejarah mereka, serta memberi mereka makna dan keberlanjutan.
Elemen-elemen ini termasuk tradisi lisan dan ekspresi, termasuk bahasa sebagai sarana warisan budaya takbenda; seni pertunjukan; adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan; pengetahuan dan perilaku tentang alam dan alam semesta; serta keterampilan kerajinan tradisional.
Metode:
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan ini berusaha untuk menggambarkan objek penelitian sebagaimana adanya, berdasarkan data yang dikumpulkan dan dianalisis secara mendalam. Penelitian deskriptif kualitatif memerlukan peneliti untuk mengumpulkan data yang mendalam, menganalisis, mengklasifikasi, membuat kesimpulan, dan melaporkan temuan tersebut seperti Pengumpulan data, Analisis data, Pelaporan hasil.
Hasil Penelitian:
Hasil penelitian menunjukan representasi warisan budaya takbenda di asia tenggara termasuk ndonesia dalam film animasi "Raya and the Last Dragon" yang diproduksi oleh Walt Disney Animation Studios pada tahun 2021.
dimana mencangkup Mitos dan Legenda,Film ini menampilkan naga sebagai bagian penting dari narasi, mencerminkan mitos naga yang terdapat dalam berbagai budaya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Elemen seni tradisional seperti gamelan dan batik muncul dalam berbagai adegan, menunjukkan penghargaan terhadap seni dan kerajinan Indonesia. Tradisi dan upacara keagamaan, seperti pengorbanan untuk Hyang Widhi dan nenek moyang di Indonesia, juga tercermin dalam film ini. Nilai-nilai seperti keberanian dan persatuan ditekankan dalam cerita.
Literatur Review Jurnal 13
Tahun Terbit: 2023
Halaman Jurnal: 111-123
Teori:
Reformasi diartikan sebagai perubahan yang dilakukan dalam skala moderat dan waktu yang terbatas, dengan tujuan mengubah kepemimpinan, kebijakan, dan institusi politik untuk mencapai kesetaraan sosial dan ekonomi, yang pada akhirnya mendukung sistem politik yang berkelanjutan (Samuel P Hutingtong, 1968).
Kesuksesan Jepang tentu tidak dicapai dalam waktu yang singkat. Jepang telah melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang. Masa Jepang kuno atau dikenal dengan zaman Jamon (tahun 300 SM) sampai zaman Edo (1603-1866). Pada zaman Edo, Jepang di bawah pemerintahan seorang Shogun (pemerintah militer). Pada masa Shogun ketiga Tokugawa Iemitsu menerapkan politik Isolasi sejak 1639 dengan hanya memberikan kebebasan yang sangat terbatas kepada pedagang Cina dan Belanda di pelabuhan Nagasaki (Irsan, Abdul, 2005).
Memasuki abad ke-18, kekuasaan Shogun mulai mengalami tantangan yang datang dari dalam mapun luar negeri. Dari dalam negeri muncul ketidapuasan para petani akibat kenaikan pajak dan para Daimyo yang tidak mendapat akses ekonomi yang baik dari pemerintahan Tokugawa. Sedangkan dari luar datang dari Rusia dan Amerika Serikat yang beringinan membuka hubungan perdagangan dengan Jepang. Amerika Serikat berhasil memaksa pemerintahan Shogun menandatangani perjanjian Kanagawa pada 31 Maret 1854 di Tokohama dimana dua pelabuhan utama Jepang, Shimoda dan Hokodate dibuka sebagai pelabuhan penyelamatan, cara memperlakukan anak kapal yang terdampar diatur dan pengangkatan Amerika di Shimoda (Beasley et al., 2003).
Metode:
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif studi pustaka. Pendekatan ini melibatkan analisis sumber data sekunder, termasuk buku, jurnal, koran, situs web, dan tulisan relevan lainnya. Metode kualitatif didasarkan pada filosofi post-positivisme, dengan pengumpulan data melalui purposive sampling dan snowball sampling.
Hasil Penelitian:
Setelah Perang Dunia II, Jepang berada dalam kondisi kehancuran total. Ekonomi Jepang mengalami kerugian besar akibat serangan udara oleh Amerika Serikat di Hiroshima, Nagasaki, dan beberapa kota besar lainnya. Hal ini menyebabkan masalah sosial seperti pengangguran, kemiskinan, dan kelaparan. Sekitar 7 juta prajurit Jepang yang berada di berbagai wilayah pendudukan harus kembali ke Jepang, menambah beban sosial dan ekonomi .
Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Jenderal Douglas MacArthur bertujuan untuk mendemiliterisasi dan mendemokratisasi Jepang. Reformasi ini bertujuan untuk mencegah kebangkitan militerisme Jepang di masa depan dan untuk menciptakan sebuah negara yang damai dan demokratis. Pendudukan ini juga dimaksudkan untuk mereformasi berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial di Jepang.
Reformasi yang Dilakukan:
Reformasi Konstitusi, Jepang mengadopsi konstitusi baru yang menekankan pembatasan kekuasaan negara, hak asasi manusia, dan pembagian kekuasaan. Konstitusi ini juga memastikan bahwa kekuasaan negara tidak disalahgunakan, dengan ketentuan yang jelas tentang tujuan negara, dasar negara, dan hak-hak dasar warga negara.
Reformasi Birokrasi dan Pemerintahan Lokal, Struktur birokrasi diubah untuk meningkatkan efisiensi dan demokrasi. Pemerintahan lokal juga direstrukturisasi untuk mendukung desentralisasi dan partisipasi publik dalam proses pemerintahan.
Reformasi Agraria, Redistribusi tanah dilakukan untuk mengurangi kekuasaan para pemilik tanah besar (Zaibatsu) dan meningkatkan kesejahteraan petani. Langkah ini bertujuan untuk menciptakan kesetaraan ekonomi di pedesaan Jepang.
Reformasi Pendidikan, Sistem pendidikan dirombak untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi, dengan penekanan pada hak-hak individu dan kewajiban warga negara. Kurikulum baru diperkenalkan untuk mendukung tujuan ini.
Reformasi Tenaga Kerja, Hak-hak pekerja ditegakkan, termasuk hak untuk berserikat dan bernegosiasi secara kolektif. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kondisi kerja dan kesejahteraan tenaga kerja.
Kesetaraan Gender, Reformasi juga dilakukan untuk menjamin hak-hak yang sama bagi perempuan, mengubah struktur sosial yang sebelumnya patriarkal dan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Reformasi yang dilakukan oleh pemerintahan pendudukan Amerika Serikat berhasil mengubah Jepang menjadi negara yang damai, aman, dan demokratis. Sistem politik, ekonomi, dan sosial yang baru memungkinkan Jepang untuk bangkit dari kehancuran perang dan berkembang menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama di dunia. Perubahan ini tidak hanya membawa stabilitas politik tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat, terutama selama periode 1960-1965. Berbeda dengan Jerman dan Italia yang mengalami kesulitan panjang pasca perang, Jepang mampu bangkit lebih cepat berkat reformasi yang efektif dan dukungan dari Amerika Serikat. Jepang ditempatkan sebagai pusat logistik selama Perang Korea (1950-1953), yang membantu mempercepat pemulihan ekonominya.
Literatur Review Jurnal 14
Tahun Terbit: 2021
Halaman Jurnal: 496-501
Literatur Review Jurnal 15
Tahun Terbit: 2021
Halaman Jurnal: 312-318
Literatur Review Jurnal 16
Tahun Terbit: 2023
Halaman Jurnal: 131-141
Literatur Review Jurnal 17
Tahun Terbit: 2021
Halaman Jurnal: 2109-2112
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mitos-mitos lisan merupakan karya sastra yang penting untuk dilestarikan guna menghindari kepunahan. Penelitian ini menemukan bahwa mitos-mitos tersebut mengandung berbagai pesan moral dan ajaran agama yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Mitos-mitos yang diteliti mencakup berbagai jenis, seperti dongeng, cerita rakyat, dan legenda, yang semuanya mengandung nilai-nilai positif seperti nilai kesopanan, religius, keindahan, sosial, dan pendidikan. Contohnya, mitos tentang "duduk di muka pintu dapat suami/istri tua" dan "tidur terlungkup dengan kaki dinaikkan sama dengan mendoakan orang tua cepat meninggal" adalah bentuk nilai kesopanan yang diajarkan melalui mitos-mitos tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa mitos-mitos dalam masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai warisan budaya tetapi juga sebagai pedoman moral dan spiritual yang penting.
Literatur Review Jurnal 18
Tahun Terbit: 2024
Halaman Jurnal: 13-24
Tahun Terbit: 2020
Halaman Jurnal: 217-229
Tahun Terbit: 2017
Halaman Jurnal: 137-153
Komentar
Posting Komentar