LITERATUR RIVIEW

 LITERATUR RIVIEW JURNAL BERKAITAN DENGAN KAJIAN FILM HOROR OKULTULISME

Kata Kunci: Film, Horor, Okultulisme, Shamanisme, Perang Imajin

Literatur Review Jurnal 1 

Semiotic Analysis Of Valak And Lorainne In “THE CONJURING 2” Film

Penulis Jurnal: Yulia Sofiani Zaimar
Tahun Terbit: 2017
Halaman Jurnal: 219-229

Teori:

Dalam Jurnal " Semiotic Analysis Of Valak and Lorainne in The Conjuring 2 Film"  bergenre Horor tersebut membawa para penikmatnya atau penonton pada perasaan ketakutan, dan mendapat perasaan emosi negatif yang diperoleh dari situasi seram, ketakutan, teror bahkan perasaan menjijiakn yang disajikan didalam film tersebut.

Dalam penciptaan perasaan tersebut, banyak didapatkan dari sebuah adegan yang dianggap masih tabu dimasyarakat atau yang membawa film ini menghadirkan rasa kekhawatiran yang diperoleh dari mitos mitos kepercayaan pada suatu daerah.

Film dapat dianalisis berdasarkan dari bentuk dan struktur bawaannya. Satu bidang yang dapat dianalisis dalam film tersebut adalah studi semiotik. Ahli semiotika film mencoba untuk mendefinisikan kekhususan film dalam ketentuan kombinasi kode tertentu. Ahli semiotika mendefinisikan film dengan kombinasi kode tertentu. Itu berarti bahwa suatu genre film mempunyai kekhususan kode kombinasi untuk mewakili pesan atau cerita film.

Metode: 

Jurnal tersebut membahas analisis semiotika pada poster film dimana memfokuskan pada karakter utama dari Valak dan karakter cenayang Lorainne menggunakan metode kualitatif. Dalam studi ini, Peneliti menggunakan teori semiotika, guna menarik makna dalam teks yang berupa sebuah gambar dengan menggunakan teori tanda dan petanda. Penelitian ini akan memilih setiap aspek kecil yang dilihat dari sebuah trailer guna untuk melihat apakah trailer tersebut telah mengikuti kode dan konvensi khas dari genre horor, yang artinya dengan menggunakan analisis semiotika, peneliti dapat menganalisis setiap tanda tanda yang ada dalam film tersebut.

Hasil Penelitian:

Dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwasanya Film membangun makna melalui sebuah tanda yang artinya suatu genre film mempunya kode kombinasi tertentu untuk mempresentasikan pesan atau cerita dari film, seperti halnya dalam film horor tersebut dapat menggunakan semiotika melalui cara menggunakan setiap karakternya dalam film dan bagaimana narasi dapat memebri tahukan tentang karakter tersebut, seperti dengan melihat tokoh utama perempuan yaitu Valak.

Kisah Conjuring ini berlatar tahun 70an, dan hasil dari gambar pada poster memberikan kesan bahwa karakter tersebut benar-benar ada pada tahun 1970-an. 
Melalui penelitian ini, sang penulis memberikan saran untuk penelitian selanjutnya agar lebih peka dalam mengenali tanda tanda karena setiap tanda harus dijelaskan secara detail termasuk analisis semiotika dalam film counjuring 2.
Literatur Review Jurnal 2

Rekreasi Ketakutan: Sebuah Kajian Menonton Film Horor Di Masa Pasca Pandemi 

Penulis Jurnal: Tri Widyastuti Setyaningsih 
Tahun Terbit: 2023 
Halaman Jurnal: 61-77

Teori:

Dalam Jurnal "Rekreasi Ketakutan: Sebuah Kajian Menonton Film Horor Di Masa Pasca Pandemi" Tingginya popularitas dan antusiasme penonton terhadap film horor, memunculkan pertanyaan mengapa penonton film tertarik pada genre film ini, mengingat sifatnya yang khas, dan mengapa orang masih saja tertarik menontonnya pada masa pascapandemi-suatu kondisi yang sebenarnya sama kualitasnya dan efek yang dihasilkan penonton film horor di masa pandemi.

Menurut Theodor W. Adorno dalam Robert W. Witkin, industri budaya merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya di bawah naungan hubungan produksi model kapitalis.Produksi film berbeda dengan industri lainnya.Konsep dalam industri budaya yang digunakan untuk menjelaskan kemampuan film dalam memengaruhi emosi penonton yaitu simulakra dan hiperealitas dimana Kualitas film horor sebagai produk estetis yang hadir dalam konteks sosio-kultural masyarakat yang khas membuatnya makin disukai.Terlebih dalam konteks situasi dan kondisi pandemi yang horor.

Di Indonesia, film horor merupakan salah satu genre yang banyak digemari oleh masyarakat. Film horor pertama di Indonesia dibuat pada tahun 1934 oleh The Teng Cun dengan judul Doea Siloeman Oeler Poeti en Item (Biran 148). 

Keberhasilan sebuah film ditentukan oleh kemampuannya dalam menciptakan simulasi yang mampu menghadirkan simulakra-simulakra yang akhirnya mampu menciptakan hiperealitas bagi penonton. Untuk itu, para produsen film perlu mempersiapkan proses produksi yang kontekstual sesuai waktu, situasi dan kondisi psikis-sosio-kultural calon penontonnya.

Sebuah penelitian yang dilakukan menjelaskan selama bertahun-tahun, para ahli telah berspekulasi tentang berbagai penjelasan untuk fenomena rekreasi ketakutan. Misalnya, ada pemikiran bahwa konsumsi horor mungkin merupakan konfrontasi ambivalen dengan keinginan yang ditekan, suatu bentuk stimulasi diri melalui gairah yang diinduksi secara artifisial, atau suatu bentuk masokisme jinak (Scrivner, Kjeldgaard-Christiansen, Johnson & Clasen). 

Faktor utama yang terkuat dan paling memengaruhi keberhasilan dalam industri film menurut Warren Buckland adalah bagaimana sebuah film mampu “mengaduk-aduk” emosi penonton. Konsep dalam industri budaya yang digunakan untuk menjelaskan kemampuan film dalam memengaruhi emosi penonton yaitu simulakra dan hiperealitas. Simulakra kurang lebih diartikan sebagai konstruksi pikiran imajiner terhadap sebuah realitas, tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial. Jadi manipulasi kenyataan yang menenggelamkan representasi ke dalam simulasi yang mereduksi keseimbangan antara citra dan realitas, itulah yang disebut simulakra. Simulakra kemudian menciptakan hiperealitas sebagai suatu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian sehingga kepalsuan seolah-olah hadir menjadi satu kenyataan (Ardiyanti 81; Baudrillard).

Metode:

Dalam penelitian ini menggunakan konsep pendekatan dalam industri budaya dengan logika industrialisasi dan komersialisasi budaya dimana hal itulah yang melahirkan sebuah film. Tujuan utama dari film horor adalah untuk menakut-nakuti dan mengejutkan penonton dengan menggunakan berbagai motif audio visual dan perangkat teknis lainnya. Penonton diposisikan sebagai konsumen industri budaya yang melakukan komodifikasi dan repetisi dalam produksi. 

Hasil Penelitian: 

Para peneliti horor berspekulasi bahwa gagasan tentang rekreasi ketakutan dapat dianggap sebagai bentuk permainan. Gagasan penting di sini adalah bahwa rekreasi ketakutan, seperti hiburan horor, memberikan konteks di mana individu dapat memiliki pengalaman yang murah dan bebas risiko dengan rasa takut dan emosi negatif terkait. Pemirsa film horor, misalnya, menanggapi film dengan ketakutan, kecemasan, ketakutan, dan jijik tanpa berada dalam bahaya yang sebenarnya.

Literatur Review Jurnal 3

Perfilman Indonesia: Perkembangan dan Kebijakan, Sebuah Telaah dari Perspektif Industri Budaya 

Penulis Jurnal: Hardini Andriyanti
Tahun Terbit: 2017
Halaman Jurnal: 163-179

Teori:

Menurut Theodor W. Adorno dalam Robert W. Witkin, Industri budaya merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya di bawah naungan hubungan produksi model kapitalis. Melalui alat berupa modal dan teknologi, budaya dikelola sebagai sebuah industri. Manusia diobjekkan sebagai bentuk modal yaitu berupa pekerja dan konsumen. Industri budaya mengimitasi seni murni yang tunduk terhadap totalitas industri budaya.

Selain itu untuk mampu menguraikan kebijakan perfilman yang tepat maka kita dapat meminjam pemikiran industri budaya David Hesmondhalgh yang merupakan satu ide penting dalam perumusan kebijakan budaya. Hesmondhalgh dalam pemikirannya menguraikan organisasi industri budaya yang terdiri dari produksi, distribusi, promosi dan konsumsi. Organisasi industri budaya tersebut kemudian oleh Hesmondhalgh disebut sebagai industri kreatif terdiri dari primary creative personel, technical worker, creative managers, marketing personal, owner dan executives, unskilled and semi skilled labour. Dari sekian banyak elemen yang terlibat dalam industri budaya, creative personel merupakan satu aset yang harus terjaga dengan baik dan perlunya permahaman dari berbagai elemen yang berkuasa lainnya

Untuk mengetahui kebijakan perfilman yang mampu mendorong perkembangan perfilman dapat diketahui dengan mempelajari perkembangan perfilman di masa lalu yang dipengaruhi oleh kebijakan perfilman dengan melakukan studi literatur dan studi penelusuran sejarah dengan mengunakan internet. Dengan melakukan telaah terhadap sejarah perkembangan bioskop, perfilman dan kebijakan perfilman dengan mengunakan konsep industri budaya tersebut maka kita dapat mengetahui bagaimana kebijakan perfilman yang diharapkan mampu mendorong perkembangan industri perfilman Indonesia.

Metode: 

Dalam penelitian ini terkait metode penelitian kualitatif, peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi untuk memahami pengalaman subjektif individu terhadap suatu fenomena . Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk mendalami makna yang terkandung dalam pengalaman individu dan memahami perspektif mereka secara mendalam. Selain itu, dalam penelitian kuantitatif, peneliti menggunakan desain eksperimental untuk menguji hubungan sebab-akibat antara variabel-variabel tertentu. Desain eksperimental memungkinkan peneliti untuk mengontrol variabel-variabel yang mempengaruhi hasil penelitian, sehingga dapat diperoleh kesimpulan yang lebih kuat. Metode penelitian yang dipilih akan sangat memengaruhi validitas dan reliabilitas hasil penelitian yang diperoleh

Hasil Penelitian: 

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan analisis terhadap perkembangan industri perfilman di Indonesia dan pengaruh kebijakan pemerintah terhadap industri tersebut. Melalui studi sejarah, dengan mengidentifikasi kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan dan potensi perbaikan yang dapat dilakukan untuk mendorong pertumbuhan industri perfilman di Indonesia.

Salah satu temuan utama dari penelitian ini adalah bahwa kebijakan perfilman di Indonesia perlu disempurnakan dari berbagai aspek, mulai dari produksi, distribusi, promosi, hingga konsumsi film. Regulasi yang mempertimbangkan aspek-aspek industri budaya, dukungan pemerintah terhadap sekolah film, perbaikan kebijakan sensor film, dan promosi film Indonesia baik di pasar domestik maupun internasional menjadi kunci dalam mendukung pertumbuhan industri perfilman.

Penelitian ini juga menyoroti pentingnya pemetaan pasar utama, strategi distribusi yang efektif, dan keseimbangan kepemilikan bioskop agar film Indonesia dapat bersaing dengan film impor. Contoh kebijakan dari negara lain seperti Korea Selatan juga dijadikan acuan untuk memperbaiki kebijakan perfilman di Indonesia.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbaikan kebijakan perfilman di Indonesia sangat penting untuk mengatasi hambatan-hambatan yang menghambat pertumbuhan industri perfilman. Dengan fokus pada aspek produksi, distribusi, promosi, dan konsumsi film, diharapkan industri perfilman Indonesia dapat berkembang menjadi industri budaya yang kompetitif dan berkelanjutan. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam pemahaman tentang pentingnya kebijakan perfilman dalam menggerakkan industri perfilman di Indonesia dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan terkait.

Literatur Review Jurnal 4

Kontribusi Industri Film Korea Selatan Dalam Membangun Citra Nasional: Pelajaran Apa Yang Dapat Diambil Oleh Indonesia?

Penulis Jurnal: Salsabila Khairunnisa, Agus Trihartono, Fuat Albayuni
Tahun Terbit: 2022
Halaman Jurnal: 1-27

Teori: 

Industri film Indonesia mulai muncul dan berkembang di era order baru. Pemerintah membentuk Departemen Penerangan sebagai bentuk keterlibatannya dengan industri film melalui kontrol pembuatan film (Barker, 2019). Kontrol ini dilakukan agar para pembuat film Indonesia hanya memproduksi film film yang sesuai aturan pemerintah seperti menggunakan tema tema nasionalisme. Walaupun dibatasi, para pembuat film tetap berkreasi memproduksi film untuk hiburan serta menyalurkan bakat mereka. Para pembuat film di orde baru lebih banyak belajar di luar negeri karena di Indonesia belum ada fasilitas yang memadai

Film dianggap sebagai media yang dapat menyatukan berbagai budaya Korea Selatan dalam satu wadah (Paquet, 2009). Film juga dikenal sebagai media komunikasi yang paling mudah diterima oleh khalayak. Hal ini dikarenakan film memiliki aspek visual, audio dan tema yang dapat disesuaikan dengan tujuan. Kontribusi film menjadi hal penting karena berperan dalam membangun citra nanasional.

Selain itu, disarankan bahwa negara seperti Indonesia dapat meningkatkan citra nasionalnya melalui penguatan industri film seperti halnya Industri film yang digunakan Korea Selatan sebagai media promosi dan membangun citra nasional dapat diadopsi oleh Indonesia.

Nation branding atau citra nasional merupakan sebuah cara bagaimana negara mengontrol citranya. Citra nasional meliputi bagaimana sebuah negara mengontrol identitas, citra dan reputasinya yang dapat mempengaruhi semua aspek dari diplomasi level negara hingga pariwisata atau budaya (Anholt, 2007). 

Citra nasional merupakan serangkaian proses untuk mencari tahu apa tujuan sebuah negara, bagaimana cara mendapatkan tujuan tersebut dan ingin dikenal sebagai negara yang seperti apa (Fan, 2010).

Metode: 

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka, baik dari literatur cetak maupun elektronik

Hasil Penelitian: 

Hasil dari penelitian tersebut adalah pentingnya peran industri film dalam mempengaruhi citra nasional suatu negara, seperti yang terjadi di Korea Selatan, Keterlibatan aktor negara dan non negara menjadi poin penting dalam membangun citra nasional melalui industri film.

Dan juga dengan melalui kerja sama antara Badan Perfilman Indonesia (BPI) dan Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), industri film Indonesia mulai dibenahi dari berbagai sektor, seperti kebijakan, perlindungan pekerja, dan tata cara perizinan. Indonesia dapat belajar dari Korea Selatan dalam memanfaatkan industri film sebagai alat promosi untuk membangun citra nasional yang kuat. Meskipun masih ada kendala seperti kebijakan yang memberatkan industri film, Indonesia dapat mengikuti jejak Korea Selatan dalam meraih kesuksesan di industri film.

Literatur Review Jurnal 5

Representasi Simbol Okultisme Pada Film Sebelum Iblis Menjemput

Penulis Jurnal: Joseph Sebastian Santos , Twin Agus Pramonojati
Tahun Terbit: 2020
Halaman Jurnal: 7656-7666

Teori: 

Suasana setting film horor lebih cenderung pada ruangan atau tempat yang gelap yang didukung juga dengan adanya ilustrasi musik yang mencekam dengan kalangan remaja dan dewasa sebagai sasaran penonton dalam film horor ini (Pratista, 2008:16-17)

Okultisme tersendiri yang berasal berasal dari kata "occultus" (Latin), artinya tersembunyi, rahasia, gaib, misterius, gelap, atau kegelapan. Dengan demikian, okultisme dapat diartikan sebagai paham yang menganut dan mempraktikkan kuasa dan kekuatan dari dunia kegelapan atau dunia roh-roh jahat. Jika film horor bertema hantu lebih menekankan sisi teror dan menegangkan, sedangkan tema okultisme lebih menekankan unsur cerita yang disebabkan penyembahan berhala. Untuk lebih spesifik, penyembahan berhala yang dikemas dalam film ini adalah berupa pesugihan. Ruslani menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Tabir Mistik (2003:147).

Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Sobur, 2013:128).

Metode: 

Penelitian ini menggunakan paradigma strukturalisme dengan metode analisis berdasarkan kajian semiotika Roland Barthes. Metode analisis data dilakukan dengan menggunakan potongan adegan yang berisi simbol-simbol dalam film, yang kemudian dianalisis dengan teori semiotika Roland Barthes. 

Hasil Penelitian: 

Hasil dari penelitian tersebut mengungkapkan bahwa penerapan teori semiotika Roland Barthes dalam analisis film "Sebelum Iblis Menjemput" berhasil mengungkap simbol-simbol okultisme dan maknanya . Dengan menggunakan konsep denotasi dan konotasi sebagai kunci analisis, penelitian ini menyoroti simbol mantra dalam film yang merepresentasikan praktik penyembahan berhala dan kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan gaib. 

Analisis film ini menunjukkan bagaimana simbol-simbol okultisme dipahami dan diinterpretasikan dalam konteks film horor. Selain itu, teori semiotika Barthes juga digunakan untuk mengeksplorasi makna subjektif atau intersubjektif dari simbol-simbol tersebut.

Seperti halnya Mitos yang terkandung pada adegan pertama adalah kepercayaan okultisme pada umumnya mempunyai tradisi ritual-ritual yang memerlukan berbagai perlengkapan. Pada beberapa perlengkapan yang dibutuhkan biasanya ada barang yang digunakan atau dipersembahkan kepada figur dewa pagan yang disembah oleh pengikutnya.

Dalam adegan ke dua film ada tokoh dukun dimana dukun dalam kepercayaan okultisme, dipercayai sebagai orang yang terbukti memiliki kemampuan khusus berinteraksi dengan dunia ghaib atau roh dan dapat membantu atau mengajarkan para penganut kepercayaan tersebut.

Pada adegan ketiga Jimat cukup erat pada masyarakat kita, sebagian orang percaya bahwa dengan menggunakannya mereka mendapatkan kekuatan.

Melalui pemaknaan mitos, peneliti menemukan bahwa simbol-simbol memilki makna sesuai dengan kepercayaan okultisme dan digunakan dalam keperluan tradisi atau ritual para pegiat praktek okultisme. Tema okultisme yang ditampilkan dalam film tersebut dikemas sesuai budaya atau kepercayaan yang berlaku pada masyarakat Indonesia, tetapi elemen-elemen simbol okultisme yang ditampilkan menggunakan referensi dari simbol-simbol pada praktek okultisme dari mancanegara. Namun, tetap penggunaan simbol-simbol tersebut dalam film ini sesuai dengan nilai-nilai okultisme, yaitu untuk menyembah kepada dewa pagan (penyembahan berhala).

Literatur Review Jurnal 6

Menelusuri Kegelapan: Film Horor dan Memori Kolektif dalam Membangun Teologi Naratif

Penulis Jurnal: Jenne Jessica Revanda Pieter
Tahun Terbit: 2023
Halaman Jurnal: 95-104

Teori: 

Anita Cloete menjelaskan bahwa Browne (1997:10) menyampaikan tentang film memiliki tiga elemen kuat, yaitu gambar, cerita, dan suara agar dapat menampilkan kisah utuh dengan konteksnya, supaya makna dari cerita tersebut dapat disampaikan secara lugas. Makna dalam film memiliki tema-tema yang dekat dengan pengalaman sehari-hari masyarakat seperti, film yang bercerita tentan tema cinta, harapan, kematian, kebaikan, kejahatan, kekerasan, dan perdamaian.

Metode:

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan literatur dari berbagai bidang, seperti Teologi, Budaya Populer, Media dan Komunikasi, serta Teologi Publik, untuk menjelaskan film horor sebagai bagian dari budaya populer dan sebagai bahan refleksi teologi . Metode ini memungkinkan penulis untuk mendalami konsep-konsep yang relevan dengan topik penelitian tanpa melakukan penelitian lapangan secara langsung.

Hasil Penelitian:

Dalam penelitian ini, film horor Indonesia dipandang sebagai bentuk memori kolektif masyarakat yang berperan dalam membangun teologi naratif. Film-film horor seperti "Sewu Dino" dan "KKN di Desa Penari" sukses meraih popularitas yang tinggi di kalangan penonton. Fenomena film horor di Indonesia menunjukkan peningkatan jumlah produksi dan minat penonton yang antusias.

Film horor tidak hanya memengaruhi masyarakat secara positif maupun negatif, tetapi juga memiliki hubungan kompleks dengan konsep Memori Kolektif dan Teologi Naratif. Film-film horor merupakan bagian dari budaya populer yang mengeksplorasi rasa takut, ketegangan, dan teror dengan beragam sub-genre yang menarik.

Dengan popularitasnya, film horor di Indonesia memiliki potensi besar sebagai sumber inspirasi dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. Kisah-kisah dalam film horor juga dapat menjadi subjek refleksi teologi yang mendalam, menunjukkan bahwa film horor bukan hanya sekadar hiburan tetapi juga memiliki nilai dalam membangun narasi teologi yang relevan dengan masyarakat saat ini. 

Literatur Review Jurnal 7

Strategi Dan Tantangan Dalam Distribusi Dan Eksibisi Film Secara Konvensional Maupun Digital Di Indonesia 

Penulis Jurnal: Cici Eka Iswahyuningtyas, dan Mochammad Fadjar H
Tahun Terbit: 2021
Halaman Jurnal: 133-146

Teori:

Setiap film punya karakteristik dan kebutuhan berbeda sehingga memerlukan pendekatan distribusi dan eksibisi yang juga berbeda (Kehoe & Mateer, 2015). 

Maka dari itu untuk mendapatkan respon positif, pelaku usaha film khususnya distributor dan produser perlu menetapkan segmentasi pasar, yaitu segmentasi geografi, demografi, psikografi dan perilaku. Selain itu strategi pemasaran terkait produk, harga, distribusi dan promosi juga perlu ditetapkan pada setiap film yang diproduksi (Wahyudi, 2018).

Mengingat film Indonesia masih kurang diminati dan bergantung pada pasar film nasional maka strategi day and date dalam distribusi film perlu dikembangkan. Pada strategi ini film dirilis simultan secara konvensional dan digital. Strategi ini efektif untuk mengenalkan film dan mendapatkan publikasi dan perbincangan luas dari media dan publik. Eksibisi film melalui bioskop penting untuk menciptakan pengetahuan khalayak mengenai film sebelum diputar secara digital (Smits et al., 2018).

Melalui road show penonton tidak hanya berkesempatan untuk menonton film dan mendapatkan suasana bioskop tetapi juga dapat berinteraksi secara langsung dengan para pembuat film dan artis pendukungnya (Gaunson, 2017), menyoroti pentingnya interaksi langsung antara penonton dengan pembuat film melalui metode seperti road show untuk menciptakan pengalaman personal.

Metode:

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan kajian pustaka melalui analisis meta. Metode analisis meta digunakan untuk menciptakan integratif review terhadap temuan utama penelitian sebelumnya yang relevan dengan tujuan penelitian. Selain itu, penelitian ini juga mencari literatur melalui berbagai sumber seperti jurnal ilmiah, laporan, artikel website, dan peraturan pemerintah untuk mendukung analisis.

Hasil Penelitian: 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi film perlu dilakukan secara simultan melalui jalur konvensional dan digital untuk memperluas pasar dan meningkatkan pendapatan dalam jangka panjang. Meskipun pasar film digital menjanjikan, pertunjukan film secara konvensional perlu dipertahankan karena pertumbuhan penonton bioskop terus meningkat. Langkah tersebut diperlukan karena jumlah bioskop dan penonton film nasional diprediksi akan terus meningkat .

Pembahasan dalam penelitian ini menekankan pentingnya peran produser film dalam menentukan model distribusi dan eksibisi film, serta interaksi langsung antara penonton dengan pembuat film melalui metode seperti road show untuk menciptakan pengalaman personal dan interaksi kepada khalayak. Selain itu, evaluasi terkait karakteristik film, khalayak sasaran, dan strategi distribusi perlu dilakukan untuk memastikan kesuksesan distribusi film. Dengan demikian, kombinasi strategi distribusi konvensional dan digital, serta keterlibatan aktif produser film dalam proses distribusi, dapat meningkatkan keterhubungan antara film dengan penonton serta potensi pendapatan film dalam pasar yang semakin berkembang 

Serta terkait dengan dukungan pemerintah, dapat dilakukan dengan menetapkan regulasi dan memberikan insentif secara menyeluruh, tidak hanya pada tahap pengembangan, pra produksi, dan produksi tetapi juga tahap paska produksi. 

Literatur Review Jurnal 8

Diplomasi Budaya Jepang dan Korea Selatan Di Indonesia Tahun 2020

Penulis Jurnal: Annisa Nur Islamiyah, Nafila Maulina Priyanto, dan Ni Putu Dyana Prabhandari
Tahun Terbit: 2020
Halaman Jurnal: 257-278

Teori:

Jepang melakukan diplomasi budaya melalui anime dan manga. Hal ini terbukti dengan banyaknya anime Jepang yang ditampilkan pada siaran televisi nasional. Manga merupakan istilah komik dalam bahasa Jepang. Istilah manga pertama kali digunakan pada tahun 1989 untuk menggambarkan buku Shiji Ada Yukikai (Wood 2017).

Korean Wave merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan produk-produk kebudayaan Korea Selatan seperti acara televisi, seri drama, film, musik, tari-tarian modern,
makanan, bahasa, video game, hingga produk kecantikan (Jang dan Paik 2012).

Menurut Tuch (1990), diplomasi publik dilakukan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman mengenai gagasan-gagasan dan cita-cita negara. Dalam pelaksanaannya, diplomasi publik bersifat government-driven, yang artinya pemerintah memegang kendali
besar dalam pelaksanaan diplomasi publik. Perhatian dari publik negara-negara asing merupakan tujuan utama dari diplomasi publik. 

Diplomasi budaya menggunakan pendekatan ideasional terhadap diplomasi dan secara bersamaan menggunakan soft power, branding, propaganda, dan diplomasi publik (Goff 2013). Jenis diplomasi ini didasarkan pada pemanfaatan pertukaran ide, nilai, tradisi, dan aspek budaya atau identitas lainnya, dengan tujuan untuk memperkuat hubungan, meningkatkan kerja sama sosial dan budaya, serta mempromosikan kepentingan nasional.

Menurut Goff (2013), diplomasi budaya muncul dari dua premis. Premis yang pertama menyatakan bahwa hubungan baik dapat berakar pada pemahaman dan rasa hormat, sementara premis yang kedua menyatakan bahwa seni, bahasa, dan pendidikan merupakan salah satu titik masuk (entry point) paling penting ke dalam suatu budaya.

Metode: 

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus untuk membandingkan diplomasi budaya Jepang dan Korea Selatan di Indonesia. Metode kualitatif digunakan untuk menggambarkan bagaimana diplomasi budaya suatu negara mempengaruhi pembangunan ekonomi. Penelitian ini menghasilkan data deskriptif dari ucapan, tulisan, atau perilaku subjek yang diamati. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data sekunder dari situs web resmi Kementerian Luar Negeri Jepang dan Korea Selatan serta berita kredibel. Data sekunder ini menjadi dasar untuk menjawab rumusan masalah penelitian.

Hasil Penelitian:

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pengaruh budaya Korea Selatan melalui Korean Wave (Hallyu) lebih dominan daripada budaya Jepang di Indonesia. Drama Korea dan musik K-Pop memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat Indonesia, sehingga produk-produk kebudayaan Korea Selatan semakin populer di Indonesia. 

Di sisi lain, budaya Jepang sepat mengalami kenaikan popularitas di awal tahun 2000-an. Namun, program diplomasi budaya Jepang yang terlambat menyadari hal ini menyebabkan penurunan tren di Indonesia sejak 2013, karena kurangnya dukungan pemerintah dan eksklusivitas industri musik Jepang. Meskipun demikian, budaya Jepang masih memiliki pengaruh yang signifikan di Indonesia, terutama dalam hal belajar Bahasa Jepang dan pertukaran pelajar.

Literatur Review Jurnal 9

SIGNIFIKANSI UNSUR BUDAYA JAWA DALAM FILM HOROR MANGKUJIWO

Penulis Jurnal: Paulus Heru Wibowo Kurniawan, Bisma Fabio Santabudi
Tahun Terbit: 2023
Halaman Jurnal: 59-76

Teori:

Latar budaya lokal yang dihadirkan secara serampangan itu merupakan buah dari pemahaman bahwa film horor merupakan genre film yang sangat mudah untuk diproduksi, formula alur yang mudah ditebak dan sederhana, serta diproduksi dengan biaya murah (Barker, 2019).

Gagasan mengenai cultural speficity yang diusung oleh Hanan (2017) tidak terlepas dari perspektif mengenai budaya lokal (regional cultures) dan perbedaan budaya (cultural differences) dalam sejarah film Indonesia. Dalam penelitian itu Hanan menunjukkan bahwa pembicaraan mengenai kedua perspektif tersebut tidak dibicarakan sebagai konsep yang statis, melainkan sebagai konsep yang juga mengalami evolusi dan perubahan, terutama dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik masyarakat Indonesia (Hanan, 2017).

Respons atas kepercayaan pada mitos ini dapat disebut sebagai magi yang dapat berwujud rapal, mantra, atau sesaji. Dengan magi, manusia berusaha untuk menghindarkan diri dari malapetaka atau marabahaya, memperoleh panen besar, meramalkan masa depan, dan bahkan merugikan atau menyakiti orang lain yang dianggap sebagai rival atau musuh (Subagya, 1981).

Kendati peran dukun atau shaman berkaitan dengan praktik keagamaan asli yang dilakukan masyarakat pada masa lalu, kehadirannya dalam praktik sosial dalam masyarakat modern mencerminkan adanya fenomena mengenai jasa perdukunan yang tetap dipercaya masyarakat Jawa pada masa kini. Tidak dapat disangkal pula bahwa sebagai profesi, dukun menempati posisi baru yang terhormat dalam masyarakat baik kalangan bawah maupun kalangan atas (Artha, 2007).

Metode:

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang mengandalkan pengumpulan data dari berbagai instrumen penelitian seperti wawancara, observasi, dan studi pustaka, serta menggunakan interpretasi sebagai bagian dari analisis data. 

Analisis data dalam penelitian ini akan dielaborasi berdasarkan pendekatan teori semiotika yang diperkenalkan oleh John Fiske. Fokus perhatian dari studi tentang tanda dalam semiotika adalah teks komunikasi seperti film, di mana peran pembaca memiliki kaitan dengan penciptaan makna teks. Tahap representasi dalam penelitian ini dituangkan dalam matriks pola struktur naratif yang meliputi elemen-elemen seperti penokohan, alur dominan, latar, dan bagian cerita.

Hasil Penelitian: 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, film horor Indonesia "Mangkujiwo" (2020) menampilkan signifikansi unsur budaya Jawa seperti kepercayaan pada mitos, sistem mistik kejawen, peran dukun dalam praktik mistik, dan simbol kekuasaan. 

Unsur-unsur budaya lokal ini membentuk pola-pola naratif dalam film yang mencerminkan praktik sosial masyarakat Jawa dan konflik-konflik yang muncul, termasuk aksi balas dendam sebagai pencapaian kondisi yang adil. 

Analisis data juga menyoroti bagaimana stereotipisasi budaya Jawa dalam film horor Indonesia kontemporer dapat mencerminkan kepercayaan terhadap religi dan kekuasaan yang masih dominan dalam masyarakat Jawa. Pembicaraan mengenai cultural specifity (kekhasan budaya) dalam film horor Indonesia kontemporer memang akan jatuh pada stereotipisasi mengenai budaya Jawa yang terkesan tertutup, eksklusif, sakral, angker, dan penuh misteri. Namun, stereotipisasi ini bukanlah tanpa alasan. Praktik sosial yang tecermin dalam komunitas masyarakat Jawa di beberapa tempat memang menunjukkan betapa kepercayaan terhadap religi dan kepercayaan terhadap kekuasaan masih mendominasi di tempat tertentu seperti di lingkungan keraton dan juga di sejumlah desa yang terpencil.

Literatur Review Jurnal 10

Film Ed for Gen Z – Industrial Issues and Motivations of the Next Generation of Filmmakers 

Penulis Jurnal: Chris Nunn
Tahun Terbit: 2023
Halaman Jurnal: 1-22

Teori:

Pendidikan film untuk Generasi Z merupakan topik yang menarik karena generasi ini memiliki karakteristik dan kebiasaan belajar yang berbeda dari generasi sebelumnya. Generasi Z, lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, dikenal sebagai digital natives yang tumbuh dengan teknologi canggih dan akses mudah ke informasi. Oleh karena itu, pendekatan pendidikan tradisional sering kali kurang efektif untuk mereka. Dalam konteks pendidikan film, ini berarti metode pengajaran harus inovatif dan memanfaatkan teknologi digital untuk menarik minat mereka.

1. Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning): Pendekatan ini menekankan pembelajaran melalui pengalaman langsung dan proyek nyata, yang sangat cocok untuk pendidikan film. Generasi Z cenderung lebih terlibat dan termotivasi ketika mereka dapat melihat hasil nyata dari pekerjaan mereka.

2. Konstruktivisme: Teori ini menekankan bahwa belajar adalah proses aktif di mana siswa membangun pengetahuan baru berdasarkan pengalaman mereka sendiri. Dalam pendidikan film, ini bisa berarti mendorong siswa untuk membuat film mereka sendiri, bukan hanya menonton dan menganalisis film yang sudah ada.

3. Pembelajaran Sosial: Teori ini, yang dikemukakan oleh Albert Bandura, menekankan pentingnya pembelajaran melalui observasi dan interaksi sosial. Dalam pendidikan film, ini bisa diterapkan dengan cara kolaborasi dalam proyek film dan diskusi kelompok tentang karya film.

Metode: 

Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan mengumpulkan data dari siswa melalui platform keterlibatan audiens online, yaitu Mentimeter. Data yang dikumpulkan mencakup harapan siswa terhadap tantangan di industri film dan televisi serta motivasi mereka untuk belajar membuat film. Penulis mengumpulkan data ini selama sesi orientasi dari 2017 hingga 2021 di Program BA Film dan Produksi Televisi di University of Greenwich.

Hasil Penelitian: 

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan film yang efektif untuk Generasi Z harus memanfaatkan teknologi digital dan pendekatan yang interaktif. Siswa lebih terlibat dan termotivasi ketika mereka bisa berpartisipasi secara aktif dalam pembuatan film dan menggunakan alat yang mereka kenal. Selain itu, kerja tim dan kolaborasi juga merupakan aspek penting yang harus diperhatikan dalam merancang kurikulum pendidikan film.

Implikasi praktis dari temuan ini adalah bahwa institusi pendidikan perlu mengadopsi metode pengajaran yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan dan preferensi generasi ini. Penggunaan teknologi digital harus diintegrasikan secara menyeluruh dalam proses pembelajaran, dan guru harus berperan lebih sebagai fasilitator yang mendukung eksplorasi kreatif siswa daripada sekadar penyampai informasi.

Literatur Review Jurnal 11

Feng-shui: Elemen Budaya Tionghoa Tradisional

Penulis Jurnal: Sugiri Kustedja, Antariksa Sudikno, Purnama Salura
Tahun Terbit: 2012
Halaman Jurnal: 61-89

Teori: 

Feng-shui merupakan sebuah konsep yang berasal dari Tiongkok kuno dan memiliki sejarah panjang dalam budaya dan tradisi Tionghoa. Menurut Kustedja et al. (2012), istilah Feng-shui awalnya dikenal dengan berbagai nama seperti zhan-zhai (peramalan tempat tinggal), xiang-di (bentuk bumi), xiang-zhai (bentuk hunian), dan lain-lain. Istilah ini mengalami evolusi seiring dengan perkembangan zaman dan penggunaannya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Tionghoa.

1. Teori Kosmologi dan Filosofi Feng-shui

Feng-shui didasarkan pada teori kosmologi dan filosofi yang mendalam, yang mencakup prinsip-prinsip yin-yang (daya alam dualistis) dan qi (energi kehidupan). Teori ini berupaya menciptakan keseimbangan dan harmoni antara manusia dan lingkungan sekitarnya. Guo-pu (276-324 CE) dalam Zang Shu (Kitab Penguburan) menjelaskan bahwa pemilihan lokasi pemakaman yang baik dapat mempengaruhi kesejahteraan dan kemakmuran keturunan yang masih hidup.

2. Pengaruh Feng-shui dalam Arsitektur dan Tata Ruang

Kustedja et al. (2012) menyatakan bahwa Feng-shui tidak hanya diterapkan pada pemakaman tetapi juga dalam penataan bangunan dan ruang kota. Penerapan Feng-shui dalam arsitektur bertujuan untuk memastikan bahwa bangunan ditempatkan dalam posisi yang menguntungkan, yang diyakini dapat membawa keberuntungan dan kesehatan bagi penghuninya.

3. Feng-shui dalam Konteks Modern

Penelitian ini juga menyoroti bagaimana Feng-shui tetap relevan dalam konteks modern. Dalam arsitektur kontemporer, prinsip-prinsip Feng-shui masih digunakan untuk mendesain ruang yang harmonis dan seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi dan gaya hidup telah berubah, nilai-nilai budaya dan filosofi tradisional tetap dipertahankan dan dihargai.

Metode: 

Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode Analisis Sejarah: Melacak sejarah Feng-shui dari masa dinasti Jin (317-420 M) hingga penggunaannya dalam konteks modern, Pendekatan Etnografis: Meneliti penerapan Feng-shui dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tionghoa tradisional dan modern, Pendekatan Antropologis: Menggali aspek budaya dan sosial dari penerapan Feng-shui, Semiotika dan Hermeneutika: Menganalisis simbolisme dan interpretasi konsep Feng-shui dalam konteks budaya.

Hasil Penelitian: 

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Feng-shui ditemukan memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat Tionghoa, baik dalam konteks tradisional maupun modern. Feng-shui digunakan untuk menentukan lokasi yang menguntungkan bagi bangunan tempat tinggal, makam, dan struktur lainnya. Penentuan lokasi ini didasarkan pada prinsip-prinsip yin-yang dan qi, yang diyakini dapat mempengaruhi kesejahteraan dan keberuntungan penghuninya.

selanjutnya menunjukkan bahwa salah satu aplikasi utama Feng-shui adalah dalam pemilihan lokasi makam. Praktik ini berakar pada kepercayaan bahwa lokasi pemakaman yang baik dapat memberikan manfaat positif bagi keturunan yang masih hidup. Feng-shui dalam konteks ini berfungsi untuk memastikan bahwa makam terletak di tempat yang dapat menjaga keseimbangan dan harmoni antara energi alam dan leluhur yang telah meninggal.

Dalam arsitektur, Feng-shui digunakan untuk mendesain bangunan dan ruang agar sesuai dengan prinsip-prinsip keseimbangan dan harmoni. Penempatan bangunan, tata letak ruang, dan orientasi struktur semuanya dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Feng-shui. Jurnal ini memberikan contoh bagaimana desain bangunan dan tata ruang kota di beberapa kota besar di Tiongkok, seperti Beijing dan Suzhou, dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Feng-shui.

Penelitian ini juga menemukan bahwa Feng-shui tetap relevan dalam konteks modern. Meskipun telah terjadi perubahan dalam gaya hidup dan teknologi, prinsip-prinsip dasar Feng-shui masih diterapkan dalam desain arsitektur kontemporer dan perencanaan kota. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya dan filosofi tradisional tetap dipertahankan dan dihargai dalam masyarakat Tionghoa modern.

Analisis semiotika dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa banyak simbol dan elemen dalam Feng-shui memiliki makna mendalam yang terkait dengan kepercayaan dan nilai-nilai budaya Tionghoa. Simbolisme ini mencerminkan hubungan yang kompleks antara manusia, alam, dan kosmos. Feng-shui tidak hanya dilihat sebagai praktik teknis tetapi juga sebagai cara untuk memahami dan menginterpretasikan dunia.

Literatur Review Jurnal 12

Correlation of Indonesia's Intangible Cultural Heritage and American Popular Culture in the Animated Film Raya and the Last Dragon (2021)

Penulis Jurnal: Isnawati Lydia Wantasen, Stephani Johana Sigarlaki, Tatiana Starry Claudia
Tahun Terbit: 2023
Halaman Jurnal: 3257-3263

Teori: 

Warisan budaya takbenda didefinisikan sebagai berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan, serta instrumen, objek, artefak, dan lingkungan budaya terkait yang diakui oleh masyarakat, kelompok, dan individu sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Warisan ini diwariskan dari generasi ke generasi, secara terus-menerus diciptakan ulang oleh komunitas dan kelompok sebagai respons terhadap lingkungan mereka, interaksi dengan alam, dan sejarah mereka, serta memberi mereka makna dan keberlanjutan​.

Elemen-elemen ini termasuk tradisi lisan dan ekspresi, termasuk bahasa sebagai sarana warisan budaya takbenda; seni pertunjukan; adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan; pengetahuan dan perilaku tentang alam dan alam semesta; serta keterampilan kerajinan tradisional.

Metode: 

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan ini berusaha untuk menggambarkan objek penelitian sebagaimana adanya, berdasarkan data yang dikumpulkan dan dianalisis secara mendalam. Penelitian deskriptif kualitatif memerlukan peneliti untuk mengumpulkan data yang mendalam, menganalisis, mengklasifikasi, membuat kesimpulan, dan melaporkan temuan tersebut seperti Pengumpulan data, Analisis data, Pelaporan hasil.

Hasil Penelitian: 

Hasil penelitian menunjukan representasi warisan budaya takbenda di asia tenggara termasuk ndonesia dalam film animasi "Raya and the Last Dragon" yang diproduksi oleh Walt Disney Animation Studios pada tahun 2021.

dimana mencangkup Mitos dan Legenda,Film ini menampilkan naga sebagai bagian penting dari narasi, mencerminkan mitos naga yang terdapat dalam berbagai budaya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Elemen seni tradisional seperti gamelan dan batik muncul dalam berbagai adegan, menunjukkan penghargaan terhadap seni dan kerajinan Indonesia. Tradisi dan upacara keagamaan, seperti pengorbanan untuk Hyang Widhi dan nenek moyang di Indonesia, juga tercermin dalam film ini. Nilai-nilai seperti keberanian dan persatuan ditekankan dalam cerita​.

Literatur Review Jurnal 13

Japanese Reforms After World War II

Penulis Jurnal: Syahbuddin
Tahun Terbit: 2023
Halaman Jurnal: 111-123

Teori: 

Reformasi diartikan sebagai perubahan yang dilakukan dalam skala moderat dan waktu yang terbatas, dengan tujuan mengubah kepemimpinan, kebijakan, dan institusi politik untuk mencapai kesetaraan sosial dan ekonomi, yang pada akhirnya mendukung sistem politik yang berkelanjutan (Samuel P Hutingtong, 1968).

Kesuksesan Jepang tentu tidak dicapai dalam waktu yang singkat. Jepang telah melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang. Masa Jepang kuno atau dikenal dengan zaman Jamon (tahun 300 SM) sampai zaman Edo (1603-1866). Pada zaman Edo, Jepang di bawah pemerintahan seorang Shogun (pemerintah militer). Pada masa Shogun ketiga Tokugawa Iemitsu menerapkan politik Isolasi sejak 1639 dengan hanya memberikan kebebasan yang sangat terbatas kepada pedagang Cina dan Belanda di pelabuhan Nagasaki (Irsan, Abdul, 2005). 

Memasuki abad ke-18, kekuasaan Shogun mulai mengalami tantangan yang datang dari dalam mapun luar negeri. Dari dalam negeri muncul ketidapuasan para petani akibat kenaikan pajak dan para Daimyo yang tidak mendapat akses ekonomi yang baik dari pemerintahan Tokugawa. Sedangkan dari luar datang dari Rusia dan Amerika Serikat yang beringinan membuka hubungan perdagangan dengan Jepang. Amerika Serikat berhasil memaksa pemerintahan Shogun menandatangani perjanjian Kanagawa pada 31 Maret 1854 di Tokohama dimana dua pelabuhan utama Jepang, Shimoda dan Hokodate dibuka sebagai pelabuhan penyelamatan, cara memperlakukan anak kapal yang terdampar diatur dan pengangkatan Amerika di Shimoda (Beasley et al., 2003).

Metode: 

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif studi pustaka. Pendekatan ini melibatkan analisis sumber data sekunder, termasuk buku, jurnal, koran, situs web, dan tulisan relevan lainnya. Metode kualitatif didasarkan pada filosofi post-positivisme, dengan pengumpulan data melalui purposive sampling dan snowball sampling. 

Hasil Penelitian:

Setelah Perang Dunia II, Jepang berada dalam kondisi kehancuran total. Ekonomi Jepang mengalami kerugian besar akibat serangan udara oleh Amerika Serikat di Hiroshima, Nagasaki, dan beberapa kota besar lainnya. Hal ini menyebabkan masalah sosial seperti pengangguran, kemiskinan, dan kelaparan. Sekitar 7 juta prajurit Jepang yang berada di berbagai wilayah pendudukan harus kembali ke Jepang, menambah beban sosial dan ekonomi ​​.

Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Jenderal Douglas MacArthur bertujuan untuk mendemiliterisasi dan mendemokratisasi Jepang. Reformasi ini bertujuan untuk mencegah kebangkitan militerisme Jepang di masa depan dan untuk menciptakan sebuah negara yang damai dan demokratis. Pendudukan ini juga dimaksudkan untuk mereformasi berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial di Jepang​​.

Reformasi yang Dilakukan:

Reformasi Konstitusi, Jepang mengadopsi konstitusi baru yang menekankan pembatasan kekuasaan negara, hak asasi manusia, dan pembagian kekuasaan. Konstitusi ini juga memastikan bahwa kekuasaan negara tidak disalahgunakan, dengan ketentuan yang jelas tentang tujuan negara, dasar negara, dan hak-hak dasar warga negara​​.

Reformasi Birokrasi dan Pemerintahan Lokal, Struktur birokrasi diubah untuk meningkatkan efisiensi dan demokrasi. Pemerintahan lokal juga direstrukturisasi untuk mendukung desentralisasi dan partisipasi publik dalam proses pemerintahan​​.

Reformasi Agraria, Redistribusi tanah dilakukan untuk mengurangi kekuasaan para pemilik tanah besar (Zaibatsu) dan meningkatkan kesejahteraan petani. Langkah ini bertujuan untuk menciptakan kesetaraan ekonomi di pedesaan Jepang​​.

Reformasi Pendidikan, Sistem pendidikan dirombak untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi, dengan penekanan pada hak-hak individu dan kewajiban warga negara. Kurikulum baru diperkenalkan untuk mendukung tujuan ini​​.

Reformasi Tenaga Kerja, Hak-hak pekerja ditegakkan, termasuk hak untuk berserikat dan bernegosiasi secara kolektif. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kondisi kerja dan kesejahteraan tenaga kerja​​.

Kesetaraan Gender, Reformasi juga dilakukan untuk menjamin hak-hak yang sama bagi perempuan, mengubah struktur sosial yang sebelumnya patriarkal dan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan​​.

Reformasi yang dilakukan oleh pemerintahan pendudukan Amerika Serikat berhasil mengubah Jepang menjadi negara yang damai, aman, dan demokratis. Sistem politik, ekonomi, dan sosial yang baru memungkinkan Jepang untuk bangkit dari kehancuran perang dan berkembang menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama di dunia. Perubahan ini tidak hanya membawa stabilitas politik tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat, terutama selama periode 1960-1965​​. Berbeda dengan Jerman dan Italia yang mengalami kesulitan panjang pasca perang, Jepang mampu bangkit lebih cepat berkat reformasi yang efektif dan dukungan dari Amerika Serikat. Jepang ditempatkan sebagai pusat logistik selama Perang Korea (1950-1953), yang membantu mempercepat pemulihan ekonominya​​.

Literatur Review Jurnal 14

A Study on Representation of Shaman and Gut in Korean Occult Films - Focused on The Priests, The Wailing, The Mimic

Penulis Jurnal: Jae-eung Yoo, Hyun-Kyung Lee
Tahun Terbit: 2021
Halaman Jurnal: 496-501

Teori: 

Sejak 1960-an hingga 1980-an, representasi shaman dalam film Korea berubah secara signifikan. Pada 1960-an, shaman sering digambarkan sebagai simbol kejahatan kuno atau individu dari status sosial rendah. Pada 1970-an, film seperti "The Shaman Woman" (최하원) dan "Eul-hwa" (변장호, 1979) mulai menggambarkan shaman sebagai perempuan yang menderita atau anggota dari kelas sosial yang tertindas​.

Film horor okult adalah subgenre horor yang menciptakan efek ketakutan dengan menghadirkan entitas supernatural dan supranatural yang bertentangan dengan manusia. Film seperti "The Priests", "The Wailing", dan "The Mimic" menggunakan subjek dan efek visual yang baru dan sulit ditemukan dalam film horor Korea sebelumnya

Genre film berkembang dan melampaui batasan tradisional Hollywood, memberikan wawasan tentang bagaimana film okult Korea menggabungkan elemen-elemen dari genre Barat dan Korea​ (Barry Langford).

mengeksplorasi teknik bercerita dan citra kejahatan dalam film-film "The Priests" dan "The Wailing", dengan fokus pada pola reproduksi fusi dari epos demon Korea, elemen shaman, dan karakteristik genre okult Barat​ (Lee Chaeyong,2018).

Metode: 

Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal tersebut adalah analisis komparatif dan kualitatif. Penulis membandingkan dan menganalisis representasi shamanisme dan upacara Gut dalam film-film Korea terkini yang termasuk dalam genre okultisme. Pendekatan ini melibatkan identifikasi elemen-elemen visual dan naratif dari shamanisme yang muncul dalam film-film tersebut dan membandingkannya untuk mengungkapkan perbedaan dan persamaan dalam penyajiannya.

Hasil Penelitian:

Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi shaman dan upacara Gut dalam film The Priests (2015), The Wailing (2016), dan The Mimic_(2017) memiliki variasi yang signifikan dalam penyajiannya.

The Priests menggabungkan shamanisme dengan elemen eksorsisme Barat, sedangkan The Wailing menampilkan ritual Gut yang intens dan tradisional dengan visual yang kuat, dan The Mimic menggunakan Gut sebagai latar belakang naratif untuk menjelaskan asal-usul kutukan. Meskipun ada elemen visual yang konsisten seperti pakaian putih, alat-alat ritual, dan tarian, setiap film menambahkan interpretasi unik sesuai dengan narasi dan tema masing-masing. Penelitian ini menunjukkan bahwa shamanisme dapat diadaptasi ke dalam berbagai konteks genre horor dan okultisme, menggabungkan elemen-elemen budaya tradisional dengan kebutuhan komersial dan artistik dari industri film modern, mencerminkan perubahan dan adaptasi dalam praktik shamanisme seiring dengan perkembangan masyarakat Korea modern.

Literatur Review Jurnal 15

Representasi Shamanisme pada Masyarakat Korea Modern dalam Film "Man on the Edge" (Baksugoendal)

Penulis Jurnal: Suyanti N
Tahun Terbit: 2021
Halaman Jurnal: 312-318

Teori:

Shamanisme berasal dari kata šaman dalam bahasa Manchu-Tungus, sebuah wilayah yang terbentang dari bagian utara Cina, melewati Mongolia, hingga ke perbatasan utara Russia. Kata ša- pada kata šaman memiliki arti “mengetahui”, sehingga seorang shaman memiliki arti “orang yang mengetahui” (Mircea Eliade, 1964 dalam britannica.com). Shamanisme dalam karya klasik Mircea Eliade (1964, dalam Pentikäinen, 1996:6).

Shamanisme sering dianggap sebagai agama atau kepercayaan oleh masyarakat Korea yang mempercayainya, tetapi juga memiliki arti tersendiri di dalam budaya masyarakat Korea yang tidak mempercayainya sebagai suatu agama. Lee dan Kim (2017: 76).
menyebutkan bahwa banyak orang Korea yang membiarkan shaman memainkan peran sebagai tabib, penasehat, peramal dan teknisi yang berhubungan dengan mahluk spiritual, walaupun mereka tidak memiliki keharusan untuk percaya pada shamanisme. Hal ini diperjelas oleh Kim Chong-ho (2018: 34-35).

Shamanisme di Korea diyakini berasal dari daerah Manchu-Tungus yang meliputi China utara, Mongolia, dan Rusia utara. Istilah "shaman" sendiri berasal dari bahasa Manchu-Tungus yang berarti "orang yang tahu. Shamanisme Modern Meski Korea telah mengalami modernisasi yang pesat, praktik shamanistik tetap hidup dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Shamanisme diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh pemerintah Korea Selatan, dan banyak orang Korea masih melakukan ritual shamanistik untuk menyelesaikan berbagai masalah pribadi dan sosial.

Metode: 

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi pustaka untuk menganalisis representasi shamanisme dalam film "Man on the Edge" dalam konteks masyarakat modern Korea. Metode ini melibatkan pengumpulan dan analisis literatur yang relevan tentang shamanisme di Korea, teori representasi, dan analisis film, kemudian mengidentifikasi adegan dan dialog dalam film yang menggambarkan praktik shamanistik. Analisis ini menggunakan teori representasi Stuart Hall dan konsep-konsep dari literatur tentang shamanisme untuk menginterpretasikan makna di balik representasi yang ditemukan, serta membandingkan temuan dari analisis film dengan literatur untuk memastikan keakuratan dan relevansi representasi. Pendekatan konstruksionisme sosial digunakan untuk memahami bagaimana realitas shamanisme dibangun melalui interaksi sosial dan interpretasi dalam masyarakat modern Korea.

Hasil Penelitian:

Hasil dari penelitian dalam jurnal tersebut adalah bahwa shamanisme Korea masih sangat berpengaruh dalam masyarakat modern, meskipun sering dianggap sebagai praktik yang kuno atau tidak ilmiah oleh sebagian masyarakat. Representasi shamanisme dalam film "Man on the Edge" menunjukkan bagaimana shamanisme tetap digunakan sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah hidup sehari-hari, yang mencakup proses penyembuhan spiritual, ritual tradisional, dan peran mudang (dukun). Film ini menggambarkan shamanisme melalui adegan dan dialog yang mencerminkan berbagai aspek shamanisme seperti jenis-jenis mudang, proses shinbyeong (penyakit spiritual), dan praktik ritual gut. 

Film "Man on the Edge" berhasil merepresentasikan shamanisme secara konstruksionis, memperlihatkan bahwa meskipun modernisasi dan teknologi telah berkembang pesat, kepercayaan tradisional seperti shamanisme tetap memiliki tempat penting dalam budaya Korea. Dalam masyarakat modern Korea, shamanisme tidak hanya dilihat sebagai bentuk religi tradisional, tetapi juga sebagai alternatif pemecahan masalah yang efektif. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa shamanisme dalam film dipresentasikan dengan cara yang dapat mengedukasi penonton tentang keberadaan dan peran penting shamanisme dalam konteks budaya Korea.

Secara keseluruhan, film ini berhasil menampilkan dualitas kehidupan modern dan tradisional di Korea, memperlihatkan bagaimana kedua aspek ini dapat berdampingan dan saling melengkapi. Kesimpulannya, shamanisme Korea tetap relevan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana nilai-nilai budaya tradisional terus hidup di tengah-tengah perubahan sosial dan teknologi yang cepat.

Literatur Review Jurnal 16

Cultural Proximity of Korean and Indonesian in Korean Dramas

Penulis Jurnal: Suzy Azeharie
Tahun Terbit: 2023
Halaman Jurnal: 131-141

Teori:

Dalam jurnal ini, menggunakan teori proksimika budaya (cultural proximity) yang dikemukakan oleh Joseph Straubhaar sebagai dasar kajian literatur untuk menganalisis mengapa drama Korea disukai oleh masyarakat Indonesia. Teori proksimika budaya menjelaskan bahwa audiens cenderung memilih dan menyukai produk budaya yang memiliki kemiripan dengan budaya mereka sendiri. Hal ini terjadi karena adanya kenyamanan dan kedekatan emosional dengan elemen-elemen budaya yang mereka kenal.

Teori proksimika budaya dari Joseph Straubhaar mengemukakan bahwa produk budaya lebih diterima oleh audiens jika terdapat kesamaan atau kedekatan budaya antara produk tersebut dengan budaya lokal audiens. Kesamaan ini dapat berupa elemen-elemen seperti nilai-nilai keluarga, bahasa, norma sosial, estetika visual, dan topik yang relevan.

Elemen-Elemen Proksimika Budaya: Daya Tarik Bintang Lokal, Audiens lebih suka melihat bintang-bintang yang memiliki kemiripan dengan mereka sendiri atau yang berasal dari budaya yang sama.
Pengetahuan Lokal, Penggunaan latar belakang budaya yang familiar bagi audiens membuat konten lebih mudah dipahami dan diresonansi.
Topik dan Masalah, Tema yang relevan dengan kehidupan sehari-hari dan masalah sosial yang serupa dengan yang dialami audiens.
Lingkungan dan Etnisitas: Setting lingkungan yang mirip dengan tempat tinggal audiens serta representasi etnisitas yang akrab.

Penerapan dalam Drama Korea, Dalam konteks drama Korea, teori ini diterapkan dengan mengidentifikasi kesamaan budaya antara Korea dan Indonesia. Lima kategori kesamaan budaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejarah yang sama, hubungan keluarga yang berbasis keluarga besar (extended family), bahasa dan norma sosial, garis keturunan keluarga, dan kuliner.

Metode: 

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis naratif untuk mengeksplorasi fenomena kedekatan budaya antara Korea dan Indonesia melalui konsumsi drama Korea oleh penonton Indonesia. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan penonton drama Korea di Indonesia dan analisis konten dari berbagai drama Korea yang ditonton selama tiga tahun terakhir. Analisis ini mengidentifikasi elemen-elemen budaya yang mirip antara kedua negara, seperti sejarah penjajahan, struktur keluarga besar, norma sosial, dan kebiasaan makan, yang memudahkan penerimaan drama Korea oleh audiens Indonesia.

Hasil Penelitian: 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesamaan sejarah antara Korea dan Indonesia yang pernah dijajah oleh Jepang, bentuk keluarga besar dalam keluarga Indonesia dan Korea, penghormatan terhadap orang tua dan sopan santun, serta makanan yang hampir sama (nasi dan lauk pauk) menjadi faktor yang membuat drama Korea disukai oleh masyarakat Indonesia. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa unsur-unsur seperti nilai keluarga, moralitas, dan estetika visual dalam drama Korea memiliki kesamaan dengan budaya Indonesia, sehingga mudah diterima dan diapresiasi oleh penonton. Strategi soft diplomacy yang diterapkan oleh pemerintah Korea Selatan melalui penyebaran budaya populer juga berperan besar dalam memperkuat penerimaan budaya Korea di Indonesia.

Literatur Review Jurnal 17

Mitos-mitos dalam Kepercayaan Masyarakat

Penulis Jurnal: Nasrimi
Tahun Terbit: 2021
Halaman Jurnal: 2109-2112

Teori:

Penelitian ini mengacu pada teori strukturalisme, terutama karya Levi-Strauss yang dibahas oleh Heddy Shri Ahimsa Putra dalam bukunya "Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra" (2001). Teori ini digunakan untuk menganalisis struktur dari mitos dan mengungkap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Suwardi Endaswara dalam bukunya "Metodologi Penelitian Sastra" (2005) juga menjadi rujukan. Buku ini memberikan panduan tentang metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini, termasuk teknik pengumpulan data seperti wawancara, observasi, dan studi dokumenter.

James Dananjaja dalam "Folklore Indonesia" (1997, 2002) digunakan untuk memahami konteks budaya dan sosial dari mitos-mitos yang diteliti. Teori ini membantu dalam klasifikasi dan analisis nilai-nilai yang terkandung dalam mitos.

Beberapa buku yang membahas tentang nilai dan fungsi mitos dalam masyarakat juga dirujuk, seperti "Nilai dan Manfaat Sastra Daerah Jambi" oleh Idris Djakfar et al. (1994) dan "Nilai-nilai Budaya Sastra Jawa" oleh Tirto Suwando (1994). Buku-buku ini memberikan wawasan tentang bagaimana mitos berfungsi dalam kehidupan sosial budaya masyarakat.

Metode: 

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan struktural untuk menganalisis dan mengklasifikasikan mitos serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur, observasi, studi dokumenter, dan perekaman cerita lisan. Data yang diperoleh ditranskripsi, diklasifikasikan, dianalisis, dan diinterpretasikan untuk memahami pesan moral, keagamaan, dan pendidikan yang ada dalam mitos-mitos tersebut. Teknik-teknik ini memungkinkan penelitian memberikan gambaran yang komprehensif mengenai pentingnya mitos sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan.

Hasil Penelitian:

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mitos-mitos lisan merupakan karya sastra yang penting untuk dilestarikan guna menghindari kepunahan. Penelitian ini menemukan bahwa mitos-mitos tersebut mengandung berbagai pesan moral dan ajaran agama yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Mitos-mitos yang diteliti mencakup berbagai jenis, seperti dongeng, cerita rakyat, dan legenda, yang semuanya mengandung nilai-nilai positif seperti nilai kesopanan, religius, keindahan, sosial, dan pendidikan. Contohnya, mitos tentang "duduk di muka pintu dapat suami/istri tua" dan "tidur terlungkup dengan kaki dinaikkan sama dengan mendoakan orang tua cepat meninggal" adalah bentuk nilai kesopanan yang diajarkan melalui mitos-mitos tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa mitos-mitos dalam masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai warisan budaya tetapi juga sebagai pedoman moral dan spiritual yang penting​.

Literatur Review Jurnal 18

The Role and Implications of Shamanism in Korean Disaster Management

Penulis Jurnal: Kyoo‑Man Ha
Tahun Terbit: 2024
Halaman Jurnal: 13-24

Teori:

Makhluk gaib, seperti dewa, roh, hantu, dan iblis, merupakan entitas yang tidak dapat dijelaskan dengan tepat oleh sains. Beberapa orang pernah mempunyai pengalaman dengan makhluk gaib. Keyakinan supernatural setiap individu berbeda-beda, bergantung pada usia atau pengalaman terkait, dan mereka secara naluriah memandang atau menafsirkan makhluk supernatural berdasarkan persepsi diri mereka. Namun, banyak orang yang mulai mendiskusikan pengalaman mereka dengan makhluk gaib pada tingkat yang lebih luas, termasuk aktivitas manusia, komunitas, budaya, dan lingkungan (Pirta, 2019).

Makhluk dan kepercayaan supernatural memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku manusia dan respons terhadap bencana. Shamanisme melibatkan interaksi dengan roh melalui keadaan kesadaran yang berubah, yang merupakan fenomena universal karena akarnya yang dalam dalam sejarah dan budaya manusia. Shamanisme telah berkembang bersama masyarakat manusia, beradaptasi dengan perubahan budaya dan lingkungan.
Ia dipandang sebagai bagian dari sifat manusia, berkontribusi pada kelangsungan hidup dan adaptasi komunitas lokal selama periode panjang​​.

Selama dinasti Chosun, shamanisme memberikan ruang bagi perempuan untuk mengekspresikan diri dan mengelola stres dalam masyarakat patriarkal. Pelatihan dan transfer pengetahuan dalam shamanisme secara tradisional tidak tertulis dan diturunkan melalui generasi​.

Shamanisme Korea terkait dengan agama-agama besar seperti Kristen dan Buddhisme, yang telah menggabungkan elemen shamanik ke dalam praktik mereka. Meskipun dianggap sebagai takhayul oleh sebagian orang, shamanisme tetap bertahan dan beradaptasi dengan konteks modern, termasuk konsultasi bisnis dan dukungan psikologis​

Neo-shamanisme telah muncul sebagai bentuk kontemporer, menggabungkan praktik tradisional dengan elemen modern. Penggunaan teknologi, seperti internet dan ponsel, telah memperluas jangkauan dan aksesibilitas konsultasi shamanik, terutama selama bencana​

Metode:

Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam dan analisis dokumen. Wawancara mendalam dilakukan dengan praktisi shamanisme dan individu yang terlibat dalam manajemen bencana untuk mendapatkan wawasan tentang peran dan fungsi shamanisme dalam konteks ini. Analisis dokumen melibatkan peninjauan literatur yang ada, termasuk teks-teks historis, penelitian sebelumnya, dan laporan lapangan, untuk memahami evolusi dan penerapan shamanisme di Korea. Pendekatan kualitatif ini memungkinkan peneliti untuk menggali pemahaman yang mendalam tentang praktik shamanisme dan bagaimana integrasinya dapat mempengaruhi efektivitas manajemen bencana.

Hasil Penelitian:

Hasil penelitian menunjukkan bahwa shamanisme memainkan peran penting dalam memberikan dukungan emosional dan spiritual kepada korban bencana. Praktik-praktik shamanik, seperti ritual dan komunikasi dengan roh, membantu mengurangi stres dan trauma yang dialami oleh korban. Hal ini sejalan dengan teori bahwa kepercayaan dan praktik spiritual dapat memiliki efek terapeutik, membantu individu untuk mengatasi rasa kehilangan dan ketidakpastian yang sering menyertai bencana. Dalam konteks budaya Korea, di mana shamanisme telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari selama berabad-abad, praktik ini memberikan rasa kontinuitas dan dukungan komunitas yang dapat mempercepat proses pemulihan​​.

Penelitian ini juga menemukan bahwa shamanisme telah beradaptasi dengan elemen-elemen modern, seperti penggunaan teknologi untuk menjangkau lebih banyak orang. Ini menunjukkan fleksibilitas dan daya tahan shamanisme dalam menghadapi perubahan zaman. Penggunaan media sosial dan aplikasi pesan oleh praktisi shamanik untuk memberikan konsultasi dan melakukan ritual jarak jauh adalah contoh bagaimana praktik tradisional dapat beradaptasi dan tetap relevan dalam konteks modern. Adaptasi ini memungkinkan shamanisme untuk tetap menjadi sumber dukungan penting, bahkan ketika akses fisik ke praktisi terbatas, seperti dalam situasi bencana atau pandemi​​. Di sisi lain, beberapa orang masih menganggap shamanisme sebagai takhayul yang kurang relevan dalam era modern yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, pandangan ini tidak mengurangi efektivitas shamanisme dalam konteks budaya di mana ia masih memiliki pengaruh kuat​.
Literatur Review Jurnal 19

The Figures and Meanings of Tengu: Semiotic Study of Mythological Creatures in Japanese Folklore 

Penulis Jurnal: Ida Ayu Laksmita Sari
Tahun Terbit: 2020
Halaman Jurnal: 
217-229

Teori:

Gambar atau deskripsi visual Tengu yang memiliki bentuk fisik khas seperti hidung panjang dan tubuh berwarna merah dapat dianggap sebagai ikon. Ikon ini mencerminkan bagaimana Tengu digambarkan secara visual dalam budaya Jepang.

Tengu yang sering dikaitkan dengan gunung tertentu di Jepang, seperti Gunung Takao, menjadi indeks karena dipercaya sebagai penjaga gunung tersebut. Hubungan ini menunjukkan adanya koneksi langsung antara Tengu dan lokasi geografis tertentu dalam kepercayaan masyarakat Jepang.

Dalam sistem kepercayaan Jepang, dipercaya bahwa Tengu adalah penjaga gunung, misalnya Gunung Takao, yang diyakini sebagai habitat Tengu. Tengu juga dipercaya memiliki objek-objek dengan kekuatan supranatural seperti kakuremino (jubah) dan ha uchiwa (kipas).

Metode:

Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian pustaka dengan mengumpulkan data dari buku antologi cerita rakyat Jepang "Nihon Mukashi Banashi 101" yang diterbitkan pada tahun 2007. Data kualitatif berupa teks atau kutipan-kutipan teks dan gambar dianalisis dengan teori semiotika Peirce untuk mengidentifikasi ikon, indeks, dan simbol dalam cerita tentang Tengu​.

Hasil Penelitian:

Hasil penelitian ini memberikan kontribusi dalam memahami makhluk mitologi Tengu di Jepang, khususnya dalam konteks bagaimana mitos ini diperkenalkan dan diwariskan kepada anak-anak melalui buku cerita anak-anak. Studi ini juga menunjukkan bagaimana kepercayaan terhadap makhluk mitologi seperti Tengu tetap bertahan dalam budaya Jepang dari generasi ke generasi​. Cerita tentang Tengu bersama dengan makhluk mitologi lainnya terus diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk lisan dan tulisan yang menunjukkan bahwa masyarakat Jepang tidak pernah benar-benar melepaskan diri dari sistem kepercayaan lama mereka.

Cara cerita rakyat Jepang menggambarkan Tengu dalam bentuk naratif menunjukkan bahwa Tengu dianggap nyata dan benar-benar ada di dunia manusia. Meskipun tidak demikian dalam kenyataannya, masyarakat Jepang sangat mempercayai mitos Tengu.
Literatur Review Jurnal 20

Konfusianisme dan Buddhisme dalam Lintasan Sejarah Korea

Penulis Jurnal: Zaenal Abidin Eko Putro, Cahyo Pamungkas
Tahun Terbit: 2017
Halaman Jurnal: 
137-153

Teori:

Konfusianisme mengandung unsur-unsur filsafat pemikiran, politik, dan kebudayaan yang berakar dalam sejarah Korea dan berpengaruh ke dalam pembentukan etika dan identitas bangsa Korea.

Buddhisme juga berperan dalam pembentukan dasar-dasar identitas dan kebudayaan Korea serta berakar dalam sejarah sebagaimana Agama Khonghucu.

Agama dalam pengertian Barat dan Timur sering dikatakan berbeda. Misalnya, Agama di Barat dimaknai sebagai seperangkat nilai yang melekat pada komunitas tertentu dengan sejumlah ritual dan simbol-simbol. Sedangkan di dunia Timur, agama lebih dipahami sebagai kekayaan spiritualitas yang melekat pada masyarakat secara kultur.

Metode: 

Penelitian ini menggunakan metode penelitian literatur (desk literature research) untuk mengkaji dan mendeskripsikan perkembangan agama Khonghucu dan Buddha serta peran mereka dalam membentuk kebudayaan dan identitas nasional Korea.

Hasil Penelitian:

Hasil dari penelitian menyimpulkan bahwa Heterogenitas Agama di Korea terdiri dari berbagai agama, termasuk Kristen, Katolik, Buddha, Agama Khonghucu, dan agama-agama lokal seperti Shamanisme​​.

Peran Khonghucu Mengandung unsur-unsur filsafat pemikiran, politik, dan kebudayaan yang penting dalam pembentukan etika dan identitas bangsa Korea.
Peran Buddhisme Berperan dalam pembentukan dasar-dasar identitas dan kebudayaan Korea serta berakar dalam sejarah, mirip dengan Agama Khonghucu​​.

Konflik dan Ketegangan: Setelah tahun 2000, terjadi konflik dan ketegangan antara pemeluk Buddha dan Kristen, yang dilihat sebagai ketakutan terhadap hilangnya identitas kebudayaan Korea​​.Agama dalam Perspektif Barat dan Timur: Agama di Barat dipahami sebagai seperangkat nilai dan ritual, sedangkan di Timur lebih dipahami sebagai kekayaan spiritual yang terintegrasi dalam budaya masyarakat​​.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun terjadi perkembangan kebudayaan Barat dan peningkatan pemeluk Kristen, kepercayaan terhadap Khonghucu tetap kuat karena sudah mengakar dalam budaya massa Korea. Buddhisme juga memainkan peran penting dalam sejarah dan kebudayaan Korea, sama seperti Khonghucu.

Kesimpulan:

Setelah membaca 20 jurnal , saya menangkap bahwa pada film horor, khususnya yang mengandung elemen okultisme dan shamanisme, memiliki daya tarik kuat karena kemampuannya menciptakan simulasi ketakutan yang nyata bagi para penonton. 

Dan terbukti, banyak penelitian menunjukkan bahwa film horor memanfaatkan simbol-simbol tertentu untuk menggugah emosi negatif, seperti teror dan kecemasan, yang membuat penonton merasa tegang namun aman ketika mereka melihat. Hal ini mirip dengan film horor Korea "Exhuma," yang menggunakan elemen mistis dan budaya lokal untuk menciptakan atmosfer menyeramkan yang efektif. Dari jurnal-jurnal itu, saya juga melihat pentingnya strategi distribusi dan kebijakan dalam mendukung pertumbuhan industri film nasional, memastikan film lokal bisa bersaing dan mendapatkan tempat di pasar internasional seperti fil horor korea "Exhuma" yang terkenal hingga ke mancanegara. 

Daftar Pustaka:

Zaimar, S Yulia. (2017). Semiotic Analysis Of Valak and Lorainne in "The Conjuring 2" Film. Journal of English Language Teaching. 1(2).

Setyaningsih, W Tri. (2023). Rekreasi Ketakutan: Sebuah Kajian Menonton Film Horor Pasca Pandemi. Jurnal Imaji: Film, Fotografi, Televisi, Media Baru. Vol 14(1).

Hardini, A. (2017). Perfilman Indonesia: Perkembangan dan Kebijakan, Sebuah Telaah dari Perspektif Industri Budaya. Jurnal DPR RI. Vol 22(2).

Salsabila K. Trihartono A, Albayuni F. (2022). Kontribusi Industri Film Korea Selatan Dalam Membangun Citra Nasional: Pelajaran Apa Yang Dapat Diambil Oleh Indonesia?. Majalah Ilmiah Dian Ilmu. Vol 22(1).

Santos, J Sebastian. Pramonojati, T Agus. (2020). Representasi Simbol Okultisme Pada Film Sebelum Iblis Menjemput. E-Proceeding of Management. Vol 7(2).

Pieter, JJ Revanda. (2023). Menelusuri Kegelapan: Film Horor dan Memori Kolektif dalam Membangun Teologi Naratif. Jurnal Teologi Kristen. Vol 5(1).

Iswahyuningtyas, C Eka. H, F Mochammad. (2021). Strategi Dan Tantangan Dalam Distribusi Dan Eksibisi Film Secara Konvensional Maupun Digital Di Indonesia. Jurnal Untar. Vol 13(1).

Islamiyah, N Annisa. Priyanton, N Maulina, Prabhandari, N P Dyana. (2020). Diplomasi Budaya Jepang dan Korea Selatan Di Indonesia Tahun 2020. Jurnal Hub Internasional. Vol 13(2).

Kurniawan, PH Wibowo. Santabudi, B Fabio. (2023). Signifikasi Unsur Budaya Jawa Dalam Film Horor Mangkujiwo. Jurnal Sense. Vol 6(1).

Nunn, C. (2023). Film Ed for Gen Z Industrial Issues and Motivations of the Next Generation of Filmmakers. Makings. Vol 4(1).

Kustedja, S. Sudikno, A. Salura P. (2012). Feng-shui: Elemen Budaya Tionghoa Tradisional. Jurnal Melintas.

Wantasen, I Lydia. Sigarlaki, S Johana. Claudia, T Starry. (2023). Correlation of Indonesia's Intangible Cultural Heritage and American Popular Culture in the Animated Film Raya and the Last Dragon (2021). Riwayat: Educational Journal of History and Humanities. Vol 6(4).

Syahbuddin. (2023). Japanese Reforms After World War II. Jurnal Pendidikan IPS. Vol 13(1).

Yoo, Jae-eung. Lee, Hyun-kyung. (2021). A Study on Representation of Shaman and Gut in Korean Occult Films - Focused on The Priests, The Wailing, The Mimic. The Journal of the Convergence on Culture Technology (JCCT). Vol 7(1).

N, Suyanti. (2021). Representasi Shamanisme pada Masyarakat Korea Modern dalam Film "Man on the Edge" (Baksugoendal). Aksarabaca - Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya. Vol 2(2).

Azeharie, S. (2023). Cultural Proximity of Korean and Indonesian in Korean Dramas. Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi. Vol 22(1).

Nasrimi. (2021). Mitos-mitos dalam Kepercayaan Masyarakat. Serambi Akademica: Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora. Vol 9(11).

Ha, Kyoo-man, (2024). The Role and Implications of Shamanism in Korean Disaster Management. Psychological Studies Vol 69(1). 

Sari, I A Laksmita. (2020). The Figures and Meanings of Tengu: Semiotic Study of Mythological Creatures in Japanese Folklore. Jurnal Humanus. Vol 19(2).

Putro, Z A Eko. Pamungkas, C. (2017). Konfusianisme dan Buddhisme dalam Lintasan Sejarah Korea. Jurnal Kajian Wilayah. Vol 8(1). 




Komentar

Postingan Populer